Desember ini, jumlah pengungsi Rohingya yang mempertaruhkan nyawa dengan melintasi Laut Andaman bertambahtelah mencapai angka yang mengkhawatirkan. Mereka datang untuk mencari perlindungan di Indonesia.
Sebanyak 3.722 orang Rohingya telah melarikan diri dari kamp-kamp pengungsi di Bangladesh, menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
Sabtu pagi lalu, sebuah kapal membawa 150 orang Rohingya berhasil mendarat di pantai Aceh Indonesia bagian barat, menciptakan gelombang kekhawatiran di kalangan kelompok bantuan dan advokasi.
Menurut Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), bahkan ada laporan mengenai dua kapal lagi dengan sekitar 400 orang penumpang yang masih terkatung-katung di perairan Andaman.
Musim berlayar tahunan, khususnya di bulan Desember, tampaknya menjadi waktu yang diantisipasi oleh para pengungsi Rohingya.
Dalam kondisi perairan yang relatif tenang, mereka berusaha menyeberang menuju Indonesia, diharapkan untuk menemukan perlindungan dan kehidupan yang lebih baik.
“Tiga bulan terakhir tahun lalu adalah tersibuk,” ujar juru bicara UNHCR Babar Baloch, merinci intensitas perjalanan pengungsi di musim tersebut.
Warga Rohingya, minoritas Muslim dari Myanmar. Kini hidup dalam kamp-kamp pengungsi di Bangladesh timur, melarikan diri setelah PBB menyatakan bahwa militer Myanmar bermaksud melakukan genosida.
Dengan hampir 1 juta orang Rohingya tinggal di kamp-kamp yang luas, kondisi semakin memburuk.
Mereka mengeluhkan kekerasan geng, kurangnya lapangan pekerjaan, terbatasnya akses pendidikan, dan jatah makanan yang semakin menyusut.
Dalam upaya untuk mengatasi krisis, para pengungsi cenderung memilih jalur perairan menuju Malaysia atau Indonesia, negara mayoritas Muslim.
Namun, perjalanan tidak pernah mudah.
Ratusan nyawa telah melayang saat kapal-kapal penuh sesak dan sering kali usang mencoba menyeberangi Laut Andaman.
Kondisi di Myanmar sendiri tidak memberikan harapan bagi para pengungsi untuk kembali dengan selamat.
Negara tersebut menolak kewarganegaraan Rohingya, memicu perang saudara pasca kudeta militer pada tahun 2021.
Sementara itu, bantuan pangan bagi pengungsi, yang disediakan oleh Program Pangan Dunia PBB, mengalami pemotongan nilai voucher bulanan, menambah beban mereka.
Krisis pengungsi Rohingya di Aceh juga mengalami penolakan oleh warga setempat.
Dengan terus berdatanganya para pengungsi, dan meningkatnya konfilik antara warga lokak rasanya perlu ada campur tangan pemerintah untuk mengatasi masalah ini.