Apa Itu Toxic Masculinity, Toxic Masculinity di Indonesia, Penyebab Toxic Masculinity, Dampak Toxic Masculinity Pada Kesehatan Mental—Sobat, membahas gender selalu tak ada habisnya. Segudang stigma mengenai apa yang ‘boleh’ dan ‘tidak boleh’ dilakukan oleh perempuan juga dialami oleh laki-laki. Pernahkah Sobat mendengar istilah toxic masculinity? Yap, itulah saat dimana laki-laki harus menjadi ‘Iron Man’. Mengapa demikian?
Apa itu toxic masculinity?
Sebuah studi dari Journal of School of Psychology akan menjawab pertanyaan apa itu toxic masculinity. Toxic masculinity merupakan ‘konstelasi dari sifat-sifat (masukilin) yang regresif secara sosial yang berfungsi untuk mendorong dominasi, devaluasi perempuan, homophobia, dan kekerasan yang ceroboh’.
Sederhananya, toxic masculinity mengacu pada sikap atau tindakan yang percaya dan menunjukkan persepsi jika laki-laki harus selalu bersikap maskulin. Toxic masculinity juga cenderung mengkotakkan bagaimana sikap seorang laki-laki seharusnya—kuat, tidak menujukkan emosinya, dan mendominasi. Bagaimana jika tidak memenuhi kriteria tersebut? Mereka kemudian akan dianggap gagal menjadi laki-laki yang sesungguhnya.
Baca Juga: Serba-Serbi Pemira Kampus Yang Harus Kamu Ketahui!
Salah satu contoh tindakan toxic masculinity yaitu memberi tahu orang lain yang menunjukkan emosi mereka untuk ‘bangkit’, atau dengan kata lain untuk menyembunyikan emosi tersebut. Toxic masculinity juga memandang kerentanan emosi yang sedang dialami oleh seseorang sebagai tindakan yang ‘tidak jantan’.
Toxic Masculinity di Indonesia
Seorang psikolog bernama Inez Kristanti membagikan pandangannya mengenai toxic masculinity di Indonesia melalui Whiteboard Journal. Menurutnya, toxic masculinity di Indonesia muncul dari sosialisasi peran gender sejak kecil. Misalnya, perempuan dengan peran gender feminin dan laki-laki dengan peran gender maskulin.
Dari sanalah anak kecil mulai memepelajari cara berperilaku, budaya, hingga mewariskan sesuatu yang sudah ada—termasuk cara memperlakukan laki-laki dan perempuan. Secara tidak sadar, banyak orang tua yang sering mengatakan perkataan semacam “Jangan cengeng” , “Cowok kok nangis?” , atau “Laki-laki harus jadi jagoan!”. Hal tersebut membuat emosi ditekan sejak kecil, sehingga anak tidak bisa belajar mengelola emosi dengan baik. Akibatnya, jika emosi tersebut tidak dikelola dengan baik dapat merujuk pada tindakan yang kurang konstruktif, misalnya kekerasan.
Penyebab toxic masculinity
Banyak orang saat ini memandang toxic masculinity sebagai kombinasi dari perilaku yang dibentuk oleh beberapa faktor, seperti:
- Usia
- Ras
- Kelas sosial
- Budaya
- Seks
- Agama
Ribuan tahun yang lalu, homo sapiens jantan yang paling sukses adalah yang bisa berkelahi dan berburu. Pada masa itu, sifat ‘maskulin’ yang paling diinginkan kemungkinan besar yaitu agresi, kekejaman, dan kekuatan fisik. Perilaku ini pun berlanjut hingga berabad-abad. Sepanjang sejarah, penguasa laki-laki yang dominan telah memperoleh kekuasaan dengan menaklukkan orang lain.
Baca Juga: Bingung Beli Buku Kuliah Dimana? Coba 6 Situs Download Buku Kuliah Gratis Ini!
Inilah dimana maskulinitas akhirnya menjadi ‘toxic’. Ketika seorang laki-laki yakin bahwa mereka tidka memenuhi sifat-sifat tersebut atau tidak sejalan dengan pandangan tersebut, mereka mungkin merasa jika mereka gagal. Traits ini dapat mengakibatkan kebutuhan menyerang untuk membangun kembali ‘kejantanan’ dalam diri mereka.
Dampaknya pada kesehatan mental
American Psychological Association menjelaskan bahaya seseorang terjebak dalam mengikuti tuntutan menjadi maskulin secara berlebihan, yaitu sering mengalami efek buruk dan menghadapi berbagai masalah, seperti:
- Depresi
- Permasalahan terkait citra tubuh
- Fungsi sosial yang buruh
- Penyalahgunaan obat terlarang
Selain itu, karena perasaan emosional atau berbicara secara terbuka tentang perasaan bertentangan dengan nilai-nilai tradisional maskulin ini, ada risiko tambahan bahwa laki-laki yang mengalami masalah kesehatan mental mungkin tidak mencari tenaga profesional. Begitulah Sobat beberapa dampak toxic masculinity pada kesehatan mental para laki-laki.
Referensi:
American Psychology Association (APA GUIDELINES for Psychological Practice with Boys and Men)