Credit Photo: hipwee.com
Ada yang menarik dengan fenomena mahasiswa zaman sekarang. Sebuah tren istilah yang sering dijadikan bercandaan atau bahkan kambing hitam atas ketidakproduktifan mahasiswa. Uniknya lagi, ada sekelompok mahasiswa yang menyebut diri mereka sebagai kaum rebahan. Dengan harapannya terdapat jurusan ilmu rebahan di kampusnya, pasti mereka jadi juaranya.
Istilah rebahan nampak booming akhir-akhir ini. Apalagi dibantu dengan tagar-tagar twitter yang telah melaksanakan keajaibannya. Walhasil, setiap akhir pekan tak jarang muncul tagar #sabturebahan atau semacamnya. Tentu, ini nampak menjadi guyonan yang senantiasa gurih bagi kalangan mahasiswa. Tapi, di lain sisi, dampak yang ditimbulkan pun tidak sederhana.
Segala hal tidak baik yang terus diulang-ulang berpotensi untuk menjadi baik. Sama halnya dengan kebohongan yang terus digaungkan, dapat berubah menjadi kebenaran. Lantas apa salahnya rebahan? Begitu celetuk teman yang merasa jengkel bila hobi rebahannya senantiasa diusik oleh orang-orang sok produktif.
Sekali lagi itu adalah hak masing-masing individu. Namun, alangkah lebih baiknya bila seorang mahasiswa dengan jiwa mudanya, mencurahkan segala waktunya untuk hal-hal yang baik. Membangun imperium perubahan melalui gagasan-gagasan menjanjikan untuk Indonesia di masa depan. Agar tidak berakhir di kasur dengan sangat fasih melakukan rebahan. Boleh rebahan, asal membawa kebermanfaatan. Semisal sembari membaca buku, mendengarkan podcast, atau berpikir tentang sebuah permasalahan dengan mencoba menghadirkan solusinya.
Jangan melulu scroll timeline media sosial. Anak muda Indonesia terlalu lama menghabiskan waktu setiap harinya dengan bermain gadget. Total 5 hingga 8 jam hanya sekadar untuk menyisir sosial media, instagram, facebook, dan teman-temannya. “Ok deh, saya mau berubah. Tapi berat banget menanggalkan skill rebahan,” komentar seorang teman. Ok. Kamu berada di tulisan yang tepat. Penulis mencoba menyampaikan sebuah insight yang menarik dari mbak Stani Joanita, seorang travel writer.
Beliau memperkenalkan mindset traveler dalam menjalani kehidupan. “Coba bayangkan, kita diberi kesempatan traveling 3 hari di Paris, apa yang akan kita lakukan?” Pasti kebanyakan dari kita tidak akan menyia-nyiakan. Sebulan sebelumnya telah melakukan perencanaan dengan sangat detail, mencari informasi tempat mana saja yang layak untuk dikunjungi. Bahkan kita rela untuk menggadaikan waktu tidur di Paris, demi menjelajahi setiap jengkal kota Paris.
Mari kita terapkan mindset traveler dalam kehidupan kita. Kita sepakat bahwa umur kehidupan di dunia hanya sementara. Maka, tidak ada alasan bagi kita untuk menyia-nyiakan atau sekadar rebahan, sebelum penyesalan datang. Mindset traveler setidaknya mengajarkan kita akan 3 hal. Menjadi sebaik-baik perencana, memaksimalkan segala yang ada, dan memaklumi bila ada yang tidak sesuai dengan harapan. Ketika kita bertemu dengan teman yang ngeselin, dosen yang sulit ditaklukkan, dan lingkungan yang menjatuhkan, kita akan mudah memaklumkan. “Nggak papa, cuma sementara.”
Apabila diterapkan dengan tepat dan kita mau berkomitmen, maka pasti kita akan lebih mudah dalam keluar dari zona rebahan. Semangat berkarya, dan jangan lupa mindset travelernya. Karena rebahan tidak sanggup untuk menjatuhkan kita. Kita adalah orang-orang yang tidak bisa dijatuhkan.
Comments 2