- Credit Photo: news.usc.edu
Salah satu pilar penting dalam kehidupan kampus adalah berorganisasi. Itu adalah ranah yang dapat diterjuni oleh mahasiswa selain sektor akademik, penelitian, atau pun pengabdian masyarakat. Apabila ditarik dari definisi, organisasi memiliki makna kemampuan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh sekolompok mahasiswa. Tentu, kegiatan tersebut bukanlah kegiatan tanpa manfaat. Banyak cerita dari para alumni yang dapat kita temui, bagaimana mereka sangat terbantu dengan kehidupan berorganisasi ketika masih menjadi mahasiswa.
Namun, selalu ada stigma buruk yang menghampiri. Mulai dari membuang-buang waktu, menjadi budak program kerja, sampai mengganggu belajar. Bahkan, ada beberapa tenaga pendidik yang bahkan melarang mahasiswanya untuk ikut organisasi maupun kepanitiaan. Hal ini dengan dalih mengganggu belajar, karena mahasiswa diutus jauh-jauh ke kampus, dengan uang yang tidak sedikit, untuk belajar.
Memang, sekilas hal tersebut benar adanya. Namun, kita sebagai pemilik hidup, pemilik status mahasiswa harus bijak mengambil keputusan. Apalagi, banyak lulusan SMA sederajat di luar sana yang memimpikan berada di posisi kita sekarang. Sehingga, menjadi sesuatu hal yang aneh apabila kita tidak mau memaksimalkan segala waktu dan potensi yang kita miliki, mumpung masih menjadi mahasiswa.
Lantas, garis besar pertanyaannya adalah seberapa penting organisasi bagi kehidupan kampus? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama kita harus bertanya kepada masing-masing dari kita. Apa niat awal kita terlibat dalam organisasi. Apakah hanya sebatas titip nama tapi tidak pernah akitf? Atau biar keren karena menjadi pejabat kampus? Atau bahkan hanya sebatas pengisi CV belaka? Kita patut sadar, niat yang baik akan bermuara pada kebaikan, begitu juga sebaliknya. Maka pastikan kita memiliki niat yang benar dan betul.
Kemudian muncul pertanyaan. Bagaimana cara mengetahui niat kita benar atau kurang benar? Yang mampu menjawab adalah diri kita masing-masing. Jalan menjadi mahasiswa tidak pernah selalu mulus. Terkadang ada hal-hal yang tidak terduga yang menghambat impian atau target kita. Contoh kecil misalnya, ketika akademik kita tengah turun, maka kita menjadikan organisasi sebagai kambing hitam, berarti niat kita perlu untuk ditinjau ulang. Hal ini banyak sekali penulis temui, organisasi tidak menjadi tempat untuk belajar, melainkan hanya sebatas tempat pelarian. Jika akademiknya turun, maka organisasi menjadi kambing hitamnya. Padahal sejatinya hanya kurang belajar saja.
Ketika niat sudah benar, selanjutnya adalah masalah manajemen waktu. Ini adalah pertanyaan legendaris yang selalu ditanyakan oleh mahasiswa baru. Bagaimana cara mengatur waktu antara belajar, berorganisasi, dan mungkin berprestasi. Bagaimana menyeimbangkan antara ketiganya. Sebenarnya, jawaban normatifnya adalah dengan mengatur skala prioritas, membuat to do list harian, sampai membuat assessment sederhana per minggu untuk mengukur keberhasilan pekerjaan. Tapi, yang ingin penulis sampaikan adalah justru seni mengatur waktu akan muncul ketika kita terlibat dalam banyak kegiatan. Manajemen waktu bukanlah sebuah ilmu, melainkan sebuah praktek yang mana kita akan langsung mendapatkan pembelajaran dari sana.
Lantas, apa keuntungan yang bisa didapatkan ketika terlibat organisasi kampus? Penulis kira sangat banyak sekali. Mulai dari belajar bekerja sama dengan orang, membangun jejaring, sampai pengalaman mengatur sebuah acara, merupakan persiapan untuk menyongsong pasca kampus. Ada satu keuntungan lagi yang didapat bila kita mau berorganisasi, yakni menemukan keluarga. Penulis kira, keluarga di tanah rantau menjadi hal yang sangat penting. Melihat berliku dan naik turunnya perjuangan mahasiswa, membuatnya harus ada tempat untuk berbagi kisah, dan organisasi menjadi tempat yang strategis. Berbeda dengan orang-orang yang terbiasa sendiri tanpa organisasi, mereka akan menghadapi segala sesuatunya dengan sendiri.
Jadi, masih ragu ikut organisasi?