Belakangan, muncul sebuah perdebatan di salah satu platform media sosial Twitter. Di sana seseorang membeberkan pernyataan bahwa comfort zone atau zona nyaman adalah jebakan, yang nantinya bisa membuat seseorang berhenti berkembang jika tidak keluar dari zona nyaman tersebut.
Perdebatan itu pun memberikan banyak jawaban yang penuh pro dan kontra. Salah satunya dibalas dengan narasi yang mengungkapkan bahwa hidup sudah cukup sulit, zona nyaman adalah tempat untuk kita tenang dan merasa aman.
Tapi, benarkah comfort zone ini ada? Hanya sekedar ilusi atau bisa kita ciptakan dengan kebutuhan masing-masing?
Mari kita kupas!
Asal kata “Comfort Zone”
Jika dikaji berdasarkan terminologi, comfort zone atau zona nyaman adalah istilah yang pertama kali digunakan oleh Alasdair White, seorang ahli teori manajemen dan bisnis, pada tahun 2009. Dalam ungkapannya yang banyak mengenai zona nyaman, salah satu yang terpopuler adalah, “Zona nyaman adalah suatu keadaan psikis di mana seseorang merasa mudah dan mempunyai kontrol terhadap lingkungannya. Di zona ini, seseorang tidak akan mengalami kecemasan berlebih dan bisa bekerja tanpa tekanan.”
Definisi tersebut tentunya tidak berhenti di sana. Alasdair pun bekerja sama dengan John Fairhurst untuk mengembangkan hipotesis mereka berdua yang bernama White-Fairhurst Performance.
Hipotesis ini menggambarkan bahwa kinerja seseorang diawali oleh kondisi yang mudah, dan berangkat menuju kinerja yang sulit, lalu setelah mendapat kesulitan kondisi ini kembali menurun jauh di bawah kondisi mudah.
White dan Fairhurst pun menulis karyanya di dalam sebuah artikel yang berjudul From Comfort Zone to Performance Management, yang mana tidak relevan bagi semua orang. Karena ide zona nyaman ini lahir dari industri bisnis dan kinerja produksi, bukan didasari dari perkembangan kepribadian manusia.
Meskipun demikian, tetap ada yang mengaitkan istilah zona nyaman dengan kehidupan sehari-hari. Bahkan mengemukakan bahwa zona ini adalah zona yang stagnan dan tidak membawa kita pada sesuatu yang menantang.
Haruskah keluar dari zona nyaman?
Berkembangnya istilah zona nyaman menjadi acuan para motivator untuk mendorong kita keluar dari sana, dari ruang yang aman yang melindungi kita dari berbagai stressor. Pasalnya, mereka berasumsi bahwa jika kita hidup di zona nyaman, kita tidak akan berkembang, dan tidak bisa menantang diri kita sendiri, serta tidak bisa mencapai kesuksesan.
Setengah abad lalu, seorang psikolog Robert Yerkes, mengomentari ide zona nyaman dengan teori perilaku. Dia mengungkapkan bahwa untuk meningkatkan kinerja, manusia butuh mencapai sesuatu di atas ambang batas normal. Dia menamainya dengan istilah optimal anxiety.
Disimpulkan, optimal anxiety adalah area yang berada di luar zona nyaman. Untuk memperolehnya, kamu harus berani keluar dari zona nyaman. Tapi ditekankan kembali, manusia tidak bisa keluar zona nyaman terlalu jauh karena akan memicu gangguan kecemasan, dan justru malah merusak kinerja yang sudah terbangun secara keseluruhan.
Sama seperti Teori Maslow, tentang Hierarki Kebutuhan Manusia, salah satunya adalah kebutuhan untuk merasa aman dan nyaman.
Ringkasnya, keluar dari zona nyaman untuk meningkatkan kinerja memang diperlukan, tapi tidak boleh terlalu jauh.
Membingungkan?
Kita ambil contoh, A adalah seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia. Dia mempunyai bakat menggambar dan minat di desain grafis. Dia adalah penulis dengan status pekerja lepas dan sangat menyukai pekerjaannya meskipun bayarannya tidak seberapa. Suatu ketika, dia merasa butuh pekerjaan sampingan untuk memperoleh biaya hidup yang lebih banyak.
Ada lowongan menjadi desain grafis dengan gaji Rp3.000.000 dan akuntan dengan gaji Rp5.500.000. A pun memilih menjadi desain grafis, karena sudah memahami sedikit konsepnya, dan dia memiliki keinginan.
Bagaimana pun A sudah keluar dari comfort zone, tapi sedikit, dan dengan pertimbangan. Jika dia memilih menjadi akuntan, tentunya hal tersebut bisa meningkatkan biaya hidupnya, namun A tidak memiliki persiapan atau pun common ground. Akan mengakibatkan stress berlebih perihal pekerjaan barunya dan dapat memicu gangguan kecemasan.
Mengganti istilah menjadi ruang tumbuh
Melihat ilustrasi A yang memilih menjadi desain grafis, ada istilah lain yang lebih relevan dibanding zona nyaman, yaitu ruang tumbuh.
Psikolog mengembangkan konsep comfort zone, menjadi dua area, yaitu growth zone (ruang tumbuh) dan panic zone (ruang kecemasan). Konsep ini lebih menempatkan kepada kebutuhan tiap individu dan tidak mengabaikan keadaan emosional.
Jika kembali pada ilustrasi si A, comfort zone-nya adalah menjadi penulis, yaitu sesuatu yang menyenangkan dan aman baginya, sesuatu yang familiar dan tidak menimbulkan kecemasan. Sementara growth zone-nya adalah menjadi desain grafis atau ruang lingkup menggambar, meskipun tidak memiliki pendidikan di jurusan seni, A mempunyai bekal kemampuan menggambar dan taste dalam warna, ruang tumbuh ini bisa saja menimbulkan kecemasan namun A bisa mengontrolnya dengan ilmu yang sudah diketahuinya.
Sementara menjadi di luar itu adalah panic zone. Menjadi akuntan bukan pilihan yang tepat bagi A karena dia tidak memiliki ilmu sama sekali perihal akuntansi. Butuh proses yang panjang untuk belajar sebelum masuk ke dunia profesi. Mungkin di lain waktu, A bisa mengendalikan panic zone dengan mengampu pendidikan di jurusan akuntansi terlebih dahulu
Jadi, kreasi atau ilusi?
Tiba di akhir artikel, kita bisa menyimpulkan bahwa zona nyaman adalah kreasi, yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan individu masing-masing, yang mana berbeda, dan tidak bisa dipaksanakan indikatornya.
Seperti harus mahir public speaking, bisa berwirausaha, dan stigma lainnya yang sering digunakan untuk mendefinisikan kesuksesan. Setiap individu berhak membuat klaim pada diri sendiri, yang mana bisa mereka kembangkan dan hal apa saja yang menjadi indikator sukses bagi mereka.
Jika suatu waktu ada yang menyuruhmu untuk keluar dari zona nyaman, tanyakan pada mereka apa itu definisi zona nyaman.