Credit Photo: bilingua.oi
Beberapa kampus di Indonesia telah melaksanakan atau sedang menyongsong ujian tengah semester. Terjadi perubahan yang signifikan di sana-sini. Di sudut-sudut kampus mulai banyak mahasiswa yang belajar kelompok, segala rapat ditunda, hingga perpustakaan mendadak ramai. Jarang ditemui mahasiswa yang rebahan, semua fokus untuk menyongsong ujian.
Namun, ada saja sisi unik yang dapat dijadikan pelajaran. Tidak jarang mereka membawa kertas-kertas tambahan ke ruang ujian. Mereka menyelipkan atau menggunakan berbagai macam trik untuk mengintip jawaban. Hingga yang paling epic adalah mereka yang memanfaatkan smartphone untuk mencari jawaban dengan dalih izin ke kamar mandi.
Hari ini, perilaku demikian sepertinya dimaklumi oleh lingkungan. Hingga kita lupa bahwa itu adalah cara-cara yang tidak dibenarkan oleh etika, hingga dilarang oleh aturan. Namun kita sama-sama mengamini. Padahal, mencontek adalah wujud ketidakpercayaan terhadap kemampuan diri sendiri. Sementara kita tahu, bahwa persaingan di dunia terus mengalami peningkatan.
Mereka memilih menggadaikan waktu belajar berminggu-minggu di dalam kelas dengan selembar kertas, yang belum tentu kebenarannya. Bagi kamu yang merupakan anak beasiswa, bidikmisi atau beasiswa lainnya, mari hindari hal memalukan tersebut. Negara tidak membayar kita untuk mencontek. Rakyat tidak membiayai kita untuk bertindak amoral. Bila terbersit keinginan untuk berbuat curang dalam ujian, segera bayangkan wajah mereka yang memberikanmu beasiswa. Betapa kecewanya mereka apabila melihat kita yang berbuat jujur pun tidak bisa, lantas bagaimana mau membawa perubahan Indonesia di masa depan?
Semakin ke sini esensi ujian semakin meluntur. Yang semula berfungsi sebagai bahan evaluasi untuk mengetahui pemahaman mahasiswa tentang materi, beralih menjadi penyembahan terhadap nilai. Sistem yang ada menekan mahasiswa untuk mendapatkan nilai setinggi-tingginya namun dengan menghalalkan segala cara.
Tentu, ini akan berdampak pada nilai yang dihasilkan tidak otentik. Kita bangga mendapatkan nilai fiksi yang bahkan tidak mencerminkan kemampuan. Puncaknya adalah kebiasaan untuk terus tidak percaya dengan diri sendiri. Bila ini dibiarkan terjadi, maka mimpi perbaikan Indonesia sulit untuk terwujud. Mari kawan, lebih baik tidak mengerti lalu evaluasi, dari pada terus berpura-pura padahal sejatinya tidak bisa.