Credit Photo: Kompas.com
Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ungkapan itu begitu populer hari-hari ini, bergaung di antara mahasiswa, selaras dengan gelombang aksi turun ke jalan. Tidak hanya mahasiswa saja, tetapi berbagai macam aliansi masyarakat sipil juga turut menyuarakan tuntutannnya dengan turun ke jalan, di berbagai kota di Indonesia.
Ada beberapa poin tuntutan yang dilayangkan ke pembuat Undang-Undang. Fokus utamanya ada di RUU KPK yang terkesan membatasi arah gerak KPK, hingga RUU KUHP yang dianggap ngawur oleh beberapa kalangan. Terlepas dari substansi yang diangkat, momen tersebut sepertinya cukup ampuh membangunkan mahasiswa dari tidur panjangnya.
Mahasiswa hanya dipahamkan tentang teori pergerakan, teori kontrol sosial, sampai agen perubahan di masa mahasiswa baru saja. Namun, momen aksi kemarin benar-benar memberikan implementasi dari pengetahuan-pengetahuan normatif yang telah lama disosialisasikan ketika even pengenalan kampus.
Aksi kemarin terkesan unik. Selain beragam tulisan-tulisan di kertas yang tak jarang mengundang gelak tawa, juga berbagai macam latar belakang mahasiswa pun turut turun ke jalan. Tidak hanya mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik saja yang bergerak, bahkan mahasiswa Sains dan Teknologi yang katanya tidak bisa bergerak lantaran praktikum pun turut meninggalkan laboratoriumnya.
Di Fakultas penulis misalnya, Fakultas Sains dan Teknologi. Aksi tersebut memanggil lebih dari 300 mahasiswa untuk terlibat menyuarakan aspirasi. Padahal, beberapa kalangan hanya mengira tidak sampai 50 mahasiswa. Tentu lantaran kesibukan praktikum lengkap dengan tuntutan laporan, juga fakultas yang jauh dari pergerakan. Banyak teman-teman penulis yang baru merasakan sensasi aksi, merasakan menjadi benar-benar seorang mahasiswa. Sekali lagi, kemarin bukanlah sekadar aksi untuk unjuk eksistensi.
Lantas bagaimana dengan mereka yang kebetulan tidak turun ke jalan? Seberapa penting turun ke jalan? Jawabannya ada pada pilihan. Ya, aksi, demo, atau turun ke jalan adalah salah satu bentuk ekspresi untuk menyuarakan gagasan. Sehingga tidak perlu kiranya mereka yang tidak turun ke jalan nyinyirin mereka yang ikut aksi, begitu pun sebaliknya. Mereka yang ikut demo sombong dan mencap mereka yang tidak turun ke jalan sebagai mahasiswa apatis.
Penulis kira ini adalah efek dari sensasi sementara. Nyatanya, setiap orang, setiap mahasiswa memiliki cara masing-masing untuk mengekspresikan pendapat bahkan kontribusi. Sangat mungkin, mereka yang tidak turun ke jalan memberi sumbangsih finansial sampai menjadi relawan kebersihan maupun kesehatan untuk mendukung kelancaran aksi.
Maka, di titik ini kita semua sepakat. Tidak perlu kiranya kita saling menghakimi. Semua punya caranya masing-masing untuk berekspresi. Yang patut digugah adalah mereka yang tidak merasakan apa pun selama gelombang aksi, bisa jadi hati-hati mereka telah mati. Bahwasanya adalah mahasiswa adalah salah satu wahana untuk terus menjadi dewasa.
Untuk kamu yang meluangkan waktu untuk aksi, percayalah keringatmu tidak pernah sia-sia. Untuk kamu yang tidak ada kesempatan turun ke jalan, percayalah doa dan pengharapan senantiasa di belakang mereka yang turun ke jalan. Dan untuk kamu mahasiswa, bangun, buat perubahan, jangan berhenti di aksi, karena Ibu Pertiwi senantiasa butuh sumbangsih anak negeri.
Comments 1