Campuspedia – Kenaikan UKT (uang kuliah tunggal) menjadi sorotan banyak masyarakat saat ini, mengingat calon mahasiswa baru (camaba) dari lulusan Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) sedang melakukan daftar ulang.
Banyak camaba yang kemudian mengeluhkan mahalnya UKT di kampus mereka. Mereka mengatakan jika nominal UKT tahun ini dan tahun lalu sangat besar perbedaannya, bahkan ada yang kenaikannya mencapai 70%.
Menanggapi huru-hara kenaikan UKT ini, pihak Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melakukan konferensi pers soal penetapan tarif UKT di PTN.
Kenaikan UKT Terjadi Karena Hal Ini
Akhir-akhir ini aksi protes mengenai kenaikan UKT ramai dibicarakan media sosial. Beberapa waktu lalu bahkan sempat geger mengenai pelaporan seorang mahasiswa ke kepolisian oleh rektor dari kampusnya sendiri, meski sekarang laporan tersebut sudah dicabut.
Naiknya tarif UKT ini memang sedang banyak dikeluhkan oleh mahasiswa, terutama camaba yang baru saja dinyatakan lolos dari SNBP beberapa waktu lalu. Beberapa bahkan ada yang menyatakan merasa sedikit menyesal karena sudah lolos SNBP karena tidak sanggup membayar UKT.
Kemendikbudristek melalui konferensi pers yang disiarkan siang ini (15/05) soal penetapan tarif UKT pun memberikan penjelasannya melalui siaran dari sumber.
Menurut sumber, naiknya tarif UKT di beberapa PTN disebabkan karena adanya perubahan aktivitas di kampus untuk mendorong agar lulusan kampus lebih unggul.
Ada pun perubahan aktivitas kampus yang dimaksud, yaitu metode pembelajaran inovatif dan kolaboratif.
Lalu ada pula kegiatan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Sumber menyatakan jika setelah 3 tahun dilakukan, MBKM ini memberikan dampak yang nyata karena memberikan mahasiswa pengalaman nyata di luar kampus selama 1 – 2 semester.
“Mahasiswa alumni MBKM memiliki tingkat kompetisi yang lebih baik. Masa (periode) mendapatkan pekerjaannya lebih pendek dan gaji pertamanya lebih tinggi dari rerata,” ucap sumber dalam konferensi pers.
Melihat baiknya efek kedua aktivitas baru dalam pembelajaran kampus tersebut kemudian dimasukkan dalam sistem perkuliahan. Hal ini pun berdampak pada biaya operasional perguruan tinggi, sehingga kenaikan UKT pun terjadi.
“Setelah kita ulas kembali komponen SSBOPT (Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi, red) kita mengeluarkan Permendikbud No. 2 Th. 2024 dan Permendikbud No. 54 Th. 2024 yang menyatakan jika komponen kriteria/parameter SSBOPT kita sekarang berubah,” lanjut sumber.
SSBOPT ini kemudian menjadi dasar menghitung BKT (Biaya Kuliah Tunggal).
Tarif UKT Tidak Boleh Lebih Dari BKT
Perlu diketahui jika BKT tiap program studi (prodi) pada tiap kampus berbeda. Semua tergantung pada kualitas serta karakteristik prodi tersebut, mulai dari akreditasi hingga wilayah kampus.
BKT ini harus dipenuhi oleh kampus agar kampus tersebut mampu memenuhi standar mutu yang ada, jelas pihak dari Kemendikbudristek.
Mengingat pendidikan tinggi termasuk dalam kebutuhan tersier dan bukan termasuk dalam wajib belajar, maka pemerintah pun tidak bisa sepenuhnya memberikan dana bantuan pada perguruan tinggi.
Maka dari itu, dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat untuk menyelenggarakan operasional perguruan tinggi.
Di sini, sharing pendanaan pun terjadi, di mana pemerintah memberi bantuan dana operasional dan masyarakat membayar UKT. Mengingat dana pendidikan lebih difokuskan untuk pendidikan wajib (SD – SMA), maka dana untuk perguruan tinggi pun hanya sedikit. Inilah yang kemudian menyebabkan kenaikan UKT.
Meski demikian, bukan berarti perguruan tinggi bisa mengkomersilkan kampusnya karena kampus tetap harus menjadi tempat untuk menempuh pendidikan yang bisa dijangkau seluruh lapisan masyarakat yang berpotensi.
Pemerintah pun menetapkan jika setiap kampus harus ada UKT golongan 1 dan 2 yang mana nominalnya Rp500 ribu dan Rp1 juta. UKT ini diperuntukkan bagi keluarga yang pendapatannya tidak lebih dari Rp4 juta atau jika dibagi jumlah anggota keluarga hanya mendapat Rp750 ribu tiap bulannya.
Kenaikan UKT ini memang terjadi adanya. Namun harapannya, setiap kampus mampu menetapkan UKT yang berkeadilan, sesuai dengan kemampuan keluarga masing-masing mahasiswa. ***