Credit Photo: https://www.qs.com/the-ambitions-influencing-postgraduate-applications-student-recruitment/
Kehidupan mahasiswa selalu mengundang beragam cerita. Baik perjalanan merebut bangku kuliah, suka duka hingga wisuda, sampai pahit manis dimabuk asmara. Salah satu kisah yang pantang untuk dikenang adalah cerita menjadi mahasiswa baru. Tentu, semangat yang masih baru membuat mahasiswa baru memiliki ambisi yang tak tertandingi. Dan itu menjadi sebuah hal yang terus terjadi setiap tahunnya.
Mereka tidak hanya ingin akademik yang bagus, tetapi prestasi juga mentereng, ditambah jabatan di kampus yang gemilang. Pengen student exchange, pergi ke luar negeri dengan kembali membawa kebanggaan buat almamater. Intinya, mahasiswa baru pengen ini dan itu. Apabila kita tanya mahasiswa lama, mereka hanya menginginkan satu yaitu pengen rebahan dan tidur yang cukup. Tentu ini realita yang bagaikan langit dan bumi. Sampai-sampai mahasiswa lama hanya memandang sinis mereka yang penuh dengan ambisi.
Mahasiswa ambis, begitu teman-teman penulis menyebut, adalah tipikal mahasiswa yang tidak mudah puas. Sekalipun puas, mereka tetap mengejar hal-hal yang belum terkejar. Tentu, ini dampak dari munculnya mimpi-mimpi besar yang tumbuh mengangkasa. Pertanyaannya kemudian, apakah ambisi yang dimiliki oleh mahasiswa tergolong baik atau buruk? Jawabannya jelas kembali ke pribadi masing-masing.
Dibalik banyaknya sorotan negatif untuk mahasiswa ambis, kita perlu senantiasa membedah berdasarkan sudut pandang masing-masing. Bagi penulis, menjadi mahasiswa ambis adalah salah satu cara untuk menggapai impian yang telah lama dituliskan. Mengejar mimpi layaknya orang yang tengah berlari maraton. Sementara ambisi layaknya energi agar kaki-kaki itu terus mengejar tanpa henti. Mereka para mahasiswa ambis akan menjalani hari demi hari dengan luar biasa. Karena mereka sadar, bahwa hari demi hari yang mereka lalui laksana tangga yang terus mendekatkan diri pada impian besarnya.
Mari tanyakan kepada mereka mahasiswa yang kurang ambis. Mereka hanya menjalani detik demi detik berikutnya hanya dengan biasa. Mereka menjalani hari hanya dengan rutinitas belaka. Tidak ada hal-hal baru yang membuat mereka lebih bersemengat. Kata “ya sudah” sering terdengar, dengan dalih biar Tuhan yang mengatur segalanya. Padahal Tuhan tidak pernah mengubah keadaan suatu kaum kecuali kaum tersebut sendiri yang berusaha dan mengubah keadaannya menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
Dari sini kita bisa merumuskan kesimpulan masing-masing, bahwa menjadi mahasiswa ambis bukan merupakan sebuah kesalahan. Tentu dengan catatan harus sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlandaskan kebaikan dan tidak merugikan orang lain. Menjadi ambis atau tidak adalah sepenuhnya pilihan kita masing-masing. Bagi kita yang memilih untuk ambis, jangan mencela mereka yang gabut. Bagi kita yang memilih jalan untuk tidak terlalu ambis, jangan memaki mereka yang berjuang sekuat tenaga dengan ambisinya. Karena masing-masing dari kita, sebagai mahasiswa memiliki jalan masing-masing dengan muaranya masing-masing.
Kita tentu tidak akan bisa menikmati cahaya lampu, apabila Thomas Alva Edison dipercobaan pertamanya menyerah lantaran belum berhasil. Tapi, berkat ambisinya untuk membawa penerangan bagi umat manusia, ia rela untuk mengulang percobaan hingga lebih dari 1000 kali untuk mengalirkan cahaya ke lampu bohlam. Maka, siapa pun kita, mahasiswa ambis atau pun bukan, tetap fokus kepada apa yang tengah kita jalani. Semoga sama-sama mendapatkan hasil yang sebanding dengan usaha masing-masing.