Credit Photo: dailymail.co.uk
Menjadi mahasiswa berarti memiliki banyak kesempatan untuk terus berkembang. Mulai dari kapasitas akademik, kemampuan soft skill, dapat diasah dengan mudah di balik tembok-tembok kampus. Atau bahkan, era sekarang tembok intelektual itu telah luruh. Diganti dengan lembaga open source gratis yang dapat meningkatkan kapabilitas seseorang. Tak jarang fasilitas-fasilitas tersebut menjamur di dunia maya, dan bahkan dapat diakses dengan gratis.
Namun, seperti biasa, potensi yang besar selalu menghadirkan resistensi yang besar. Peluang-peluang pengembangan diri tersebut dapat dengan mudah dipatahkan oleh tabiat kemalasan. Malas dan selalu menunda-nunda menjadi dynamic duo yang cukup ampuh meruntuhkan progress mimpi dan target, yang susah-susah kita bangun.
Pada akhirnya, mahasiswa mencoba mencari solusi. Terus mencari penawar atas kemalasan yang bisa saja datang kapan saja. Mulai dari panas yang membuat mager untuk keluar ruangan, hingga hujan dan hawa dingin yang cukup ampuh melilitkan selimut pada badan. Lagi-lagi tentang strategi agar bangkit dari kemalasan.
Hemat penulis, pertama yang perlu dilakukan untuk bangkit dari kemalasan adalah melihat ke dalam diri kita masing-masing. Mencari penyebab, mengapa kita bisa malas. Hal ini penting untuk mengetahui akar masalah, dan cara agar dapat menghadirkan solusi yang tepat sasaran. Misalnya hadirnya malas lantaran kecewa atau capek dengan hari-hari berat yang telah dilalui. Atau munculnya rasa malas karena sedang tidak enak badan.
Ketika kita telah berhasil menemukan akar masalahnya, mengapa kita malas, selanjutnya adalah menghadirkan solusi. Ketika malas lantaran motivasi turun, coba mencari pemantik yang membuat kita semangat kembali. Mulai dari menonton film motivasi, melihat video visualisasi mimpi kita, atau mungkin sekadar menelpon orang tua. Ketika malasnya hadir lantaran tidak enak badan, coba badan kita gerakkan secara berkala. Jangan malah meringkuk tak berdaya.
Selanjutnya adalah berprogress. Ini adalah musuh bebuyutan dari kemalasan. Ketika seseorang berhasil untuk memulai berprogress, maka detik itu juga kemalasan pasti akan mundur pelan-pelan. Penulis pernah bertemu dengan seorang aktivis sosial pemberdayaan pendidikan yang memiliki 1000 program kerja setiap tahunnya. Sangat banyak, jiwa sambat mahasiswa akan langsung memberontak. Tidak sebanding dengan program kerja mahasiswa yang paling maksimal 5 dalam setahun, itu pun sambatnya nggak bisa ditoleransi.
Namanya Pak Willy, beliau mengatakan bahwa seorang volunteer, seorang mahasiswa yang ingin hidupnya berguna buat masyarakat dan bangsa, harus menghapus kosa kata malas dari tubuhnya. Bagaimana caranya? Jangan pernah membiarkan ada waktu kosong. Pastikan setiap detiknya bermanfaat.
Dan pada akhirnya, kebaikan akan selalu mengundang banyak tantangan. Semua senantiasa kembali kepada diri masing-masing, seberapa jauh ia berkompromi dengan tubuhnya masing-masing. Mau progresif atau terus membiakkan kemalasan. Yang pasti, setiap pilihan ada konsekuensi, dan setiap konsekuensi terkadang memunculkan penyesalan.
Comments 2