Memberi dan menerima semangat maupun saran positif dari teman, kolega, keluarga sepertinya umum dan dialami hampir seluruh individu. Belakangan ini, dikenal istilah ‘toxic positivity’. Apalagi dengan meningkatnya fungsi media sosial sebagai wadah menyebarkan dan melakukan kampanye dan problematika kesehatan mental yang kian mendapat banyak perhatian publik, toxic positivity pun mulai diperbincangkan. Sekilas melihat, kata positif disandingkan dengan kata ‘toxic’ yang memiliki konotasi kurang baik mungkin membuat bingung sebagian orang. Namun dibalik itu semua, toxic positivity adalah salah satu tindakan yang seringkali kita lakukan tanpa sengaja. Lantas, bagaimana cara mengatasi toxic positivity?
Toxic positivity adalah…
Melansir dari Science of People, toxic positivity adalah perasaan bertindak bahagia atau ceria, padahal sebenarnya tidak. Toxic positivity juga mencakup tindakan dimana seseorang selalu mengatakan hal-hal yang ‘bermaksud positif’ kepada orang lain maupun dirinya sendiri, seperti ‘Tenang, semua akn baik-baik saja. Jangan khawatir”, dan sejenisnya.
Yap, toxic positivity bisa terjadi melalui dua bentuk yaitu toxic positivity yang berasal dari kata-kata atau tindakan orang lain pada kita dan sebaliknya, kemudian toxic positivity yang kita lakukan pada diri kita sendiri. Sayangnya kedua bentuk toxic positivity ini memiliki dampak buruk dan dapat merusak diri kita.
Baca Juga: Kuasai Rumus Dasar Microsoft Excel Bagi Pemula Ini Agar Tugas dan Pekerjaan Terbantu!
Mengapa Berbahaya? 4 Dampak Negatif Toxic Positivity
Pikiran negatif justru akan semakin menumpuk dan bisa ‘meledak’ suatu saat
Sebuah penelitian pada tahun 1997 berjudul Hiding Feelings: The Acute Effects of Inhibiting Negative and Positive Emotion menunjukkan semakin seseorang menekan emosi mereka, maka hal tersebut akan semakin merusak diri mereka sendiri. Seperti yang kita ketahui, toxic positivity adalah efek domino, semakin kita menghindari pikiran negatif, semakin besar pikiran negatif tumbu, dan semakin memperkuat kecenderungan kita untuk mengabaikan hal negatif. Tapi kita bukan hanya manusia yang bahagia. Kita juga bisa merasakan sedih, marah, takut, gelisah.
Dapat memperburuk hubungan
Seorang pembaca Science of People membagikan pengalamannya terkait toxic positivity, “Saya berbagi kekecewaan saya pada sesuatu yang terjadi di tempat kerja dan betapa frustasinya saya tentang hal itu. Saya dibilang, ‘Yah, setidaknya kamu masih memiliki pekerjaan’.. Rasanya frustasi saya tidak penting dan membuat perasaan saya sama sekali tidak valid. Itu benar-benar membuat saya lebih marah!”
Membuat kita semakin sedih
Sebuah penelitian pada tahun 2011 berjudul Stress Generation, Avoidance Coping, and Depressive Symptoms: A 10-Year Model mengungkapkan jika seseorang akan merasa semakin sedih ketika orang lain berekspektasi pada diri mereka agar tidak merasakan emosi negatif seperti merasa sedih. Mari coba kita ilustrasikan dalam skema berikut ini:
Yang dikatakan orang lain | Yang kita katakan | Yang sebenarnya kita pikirkan dan rasakan |
“Gimana? Acara hari ini seru, kan?” | “Ah, iya! Seru banget!” | Aduh, sebenarnya nggak sama sekali. Musiknya terlalu kencang, makanannya hambar. Bisa pulang sekarang nggak, sih? |
Baca Juga: Hobi Nonton Film? Yuk, Kenalan Dengan Genre Film Whodunit dan 5 Rekomendasinya!
Toxic positivity bisa menjadikan kita tidak sensitif
Ketika kita dalam keadaan sedih atau netral, kita cenderung memperhatikan detail dan kecil karena kita mungkin berpikir ada sesuatu yang salah atau kurang tepat — dan karena hal itu kita merasa tidak bahagia.
Bagaimana Cara Mengatasi Toxic Positivity?
Terapkan Konsep NEO
Cara mengatasi toxic positivity yang pertama yaitu dengan menerapkan konsep NEO dalam kehidupan sehari-hari kita. NEO merupakan tiga dari personality traits (ciri kepribadian) yang memiliki korelasi dengan kebahagiaan, yaitu:
- Neuroticism (bagaimana seseorang berurusan dengan emosi), cenderung berkorelasi negatif dengan kebahagiaan
- Extraversion (bagaimana seseorang berinteraksi dengan orang lain), cenderung berkorelasi positif dengan kebahagiaan
- Openness (keterbukaan terhadap pengalaman dan pengetahuan), cenderung berkorelasi positif dengan kebahagiaan
Bagaimana konsep NEO bisa manjadi cara mengatasi toxic positivity? Carilah orang-orang yang memiliki Neuroticism tinggi, Extraversion rendah, dan/atau Openness rendah dan fokus pada mereka, seperti contohnya:
- Rekan kerja yang selalu menekankan font mana yang akan digunakan dalam presentasi.
- Teman yang menghindari pesta dan lebih suka membaca sendiri di rumah.
- Anggota keluarga yang ingin pergi ke restoran yang sama setiap ulang tahun.
Mengapa begitu? Hal ini karena kebahagiaan alami yang dirasakan oleh tipe NEO mungkin tidak setinggi orang lain, sehingga mengatakan pada mereka perkataan yang mengarah unruk menyuruh bahagia semacam “ayo senyum, dong” mungkin tidak mungkin. Tingkat kebahagiaan mereka mungkin anya ¾ dari yang orang lain rasakan dan kemungkinan lebih rentan pada emosi negatif. Sehingga kita bisa lebih berhati-hati lagi dan sebisa mungkin tidak menyebarkan toxic positivity pada mereka.
Baca Juga: Astronomi dan Astrologi, Sama Atau Beda?
Nah, jika ternyata diri kita sendiri merupakan seorang NEO dan tanpa sadar terus menanamkan toxic positivity dalam diri kita, dengan menerapkan konsep NEO dapat membantu kita memahami jika tingkat kebahagiaan kita mungkin berbeda dari orang lain.
Katakan Dengan Cara Lain
Pemilihan kata merupakan cara mengatasi toxic positivity yang susah-sudah-gampang. Susah, karena sudah terbiasa dan tanpa sadar mengatakannya. Mudah, karena dilakukan lewat perkataan.
Do’s | Don’ts |
“Semua akan baik-baik saja” | “Gimana aku bisa membantumu?” |
“Kamu harus lebih banyak tersenyum” | “Apa semuanya baik-baik saja?” |
“Jangan khawatirkan itu lagi” | “Apa yang bisa aku lakukan untuk mengurangi stress-mu?” |
“Ini bisa jadi lebih buruk” | “Ini sulit; aku bisa bantu apa?” |
“Jangan jadi terlalu negatif” | “Pasti sulit. Beritahu aku tentang itu.” |
“”Selalu lihat sisi positifnya aja!” | “Memang susah melihat sisi positifnya, tapi suatu saat kita akan memahaminya ketika kita bisa.” |
“Semuanya terjadi karena suatu alasan.” | “Kamu mau membicarakan masalah ini?” |
“Pikirkan hal-hal menyenangkan aja!” | “Aku tahu banyak hal bisa sangat sulit. Ada aku disini.” |
Baca Juga: Sering Ada di Proses Rekrutmen, Ini Perbedaan FGD dan LGD
Hindari Bersikap Seperti Ahlinya
Banyak orang yang bercerita hanya ingin didengar dan tidak diberi nasihat atau pendapat. Prinsip penting dalam cara mengatasi toxic positivity yaitu memberi saran atau pendapat hanya jika diminta.
Menjadi Pendengar Yang Baik
Poin penting dari menjadi pendengar yang baik yaitu pada bagaimana kita mendengarkan lawan bicara kita. Ada dua jenis pendengar, yaitu:
- Pendengar pasif: mendengarkan dan mengabaikan sesuatu, hanya memberi setengah perhatian pada apa yang disampaikan lawan bicara tetapi pikiran melayang entah kemana
- Pendengar aktif: konsentrasi pada apa yang dikatakan, memahami situasinya, dan memberikan feedback (umpan balik) dengan kemampuan terbaik
Ketika memberikan feedback ada baiknya untuk memberi jeda agar lebih memahami dan dapat mengira-ngira apa kira-kira respons yang paling tepat dalam situasi tertentu. Dengan begitu, potensi menyebarikan toxic positivity bisa berkurang pula.
Sumber: Science of People (Toxic Positivity)