Credit Photo: mattressadvisor.com
Salah satu mitos yang cukup membuat penulis tergelitik adalah tentang tidur bagi mahasiswa. Tentu, bagi pembaca yang seorang mahasiswa atau yang tengah berjuang mendapatkan status mahasiswa, sering mendengar bahwa sangat sedikit waktu bagi mahasiswa untuk tidur. Alasannya karena tugas yang menumpuk, belajar untuk mengejar ujian maupun kuis, begadang rapat sampai mengerjakan laporan. Atau mungkin cerita dari anak-anak teknik, dimana tidur menjadi barang yang begitu mahal bagi mereka. Hingga ada kelakar yang mengatakan bahwa seorang mahasiswa yang tidak pernah tidur larut malam atau begadang sampai pagi, berarti mereka belum benar-benar menjadi mahasiswa. Bahkan, mahasiswa yang masih tidur 8 jam sehari dianggap tidak produktif atau pun malas. Tentu ini adalah salah satu mitos menarik yang perlu untuk diuji kebenarannya.
Sekitar beberapa minggu yang lalu, penulis sempat menonton TED Talks, sebuah acara public speaking berbahasa inggris yang memaparkan penemuan baru setiap minggunya. Saat itu, yang berbicara adalah Matthew Paul Walker, seorang profesor ilmu saraf dan psikologi di University of California, Berkeley. Matt, begitu ia akrab disapa, dijuluki dengan sebutan sleep scientist. Ia membawakan speech dengan judul “The Power of Sleep”. Secara garis besar, Matt menjelaskan keuntungan dan konsekuensi seseorang berdasarkan durasi waktu tidurnya. Menurut Matt, mahasiswa yang belajar di malam hari, kemudian tidur, lalu masuk kuliah di pagi harinya, memiliki efektivitas serapan pengetahuan yang lebih optimal. Hal ini sebagai akibat dari sifat khas dari otak manusia yang seperti spons. Tanpa tidur, otak manusia dalam keadaan penuh, sehingga tidak begitu optimal dalam menyerap informasi baru.
Lebih jauh, seseorang yang tidur 4 jam sehari (persis seperti kebiasaan mahasiswa), akan kehilangan 70 persen dari natural killer cells tubuh dalam satu malam. Natural killer cells merupakan salah satu agen dalam sistem imun yang berfungsi untuk mempertahankan tubuh dari serangan virus penyakit. Akibatnya, mereka yang kurang tidur memiliki peluang besar untuk terkena kanker prostat, kanker payudara, hingga kanker usus (WHO, 2017). Kemudian ada pembelaan dari mahasiswa kurang tidur, mereka lebih memilih untuk menyicil waktu tidur. Dengan asumsi dalam sehari harus terakumulasi minimal 6 jam. Menurut Matt, durasi waktu tidur tidak bisa disamakan dengan menabung uang di bank, yang mana bisa dicicil. Karena poin utama dalam tidur adalah kontinuitas. Maka, kita butuh solusi mengenai hal ini.
Mahasiswa Harus Tidur
Tidur bagi mahasiswa menjadi satu hal yang penting. Boleh berambisi menyempurnakan IPK, mengejar prestasi, hingga menjadi pemimpin organisasi kampus. Namun, pastikan kita tetap menjaga kesehatan, salah satunya dengan tidur yang cukup. Bagian ini menjadi cukup menantang, karena mahasiswa terkadang suka lupa tidur akibat terlalu sibuk. Sehingga perlu ada strategi khusus untuk tetap bisa memiliki waktu tidur yang cukup, walau di tengah kesibukan yang menumpuk. Tips pertama yang dipaparkan oleh Matt adalah regularity. Dalam arti lain, kita harus menjaga kebiasaan waktu tidur, baik saat weekdays maupun weekend. Misalnya kita tidur jam 11 malam, maka dalam beberapa puluh hari ke depan kita harus berusaha untuk sudah tidur di atas jam 11 malam, walaupun ketika liburan. Selain itu, suhu ruangan yang lebih dingin menjadi senjata ampuh agar mudah terlelap. Itulah mengapa manusia cenderung suka mengantuk bila berada di ruangan yang dingin.
Dan pada akhirnya, ada dua pesan penting yang harus digaris bawahi oleh pembaca. Yang pertama, mitos di kalangan mahasiswa yang menganggap tidak ada waktu untuk tidur adalah hoax. Dan yang kedua, mahasiswa yang tidur cukup bukanlah mahasiswa pemalas, karena tidur menjadi hal yang penting untuk menunjang performa seorang mahasiswa. Agar tidak dijumpai, mahasiswa dengan IPK sempurna, prestasi luar biasa, jabatan dimana-mana, namun telah tiada lantaran kurang beristirahat.