Halo, sobat Campuspedia! Pada opini kali ini, penulis akan mengulas pengalaman pribadi dalam menghadapi respon celaan dari lingkungan sekitar terhadap minat jurusan perkuliahan yang penulis inginkan. Singkat dan santai, sikat sampai selesai ya sob :).
Sebagaimana telah diketahui secara meluas, sosiologi merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang tak lagi asing dalam ranah pendidikan Indonesia. Ilmu yang kerap dilabeli sebagai “ilmu yang paling bermasyarakat” ini sudah dimasukkan dalam pendidikan formal pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Tentunya, Sosiologi juga punya porsi dan kedalaman materi yang lebih komprehensif serta menarik untuk dipelajari pada tingkat perguruan tinggi.
Namun, tidak semua siswa SMA ingin dengan Sosiologi. Alih-alih mendalami ilmu yang merupakan induk dari segala metodologi penelitian sosial ini, sebagian besar siswa SMA justru memilih berbagai jurusan yang lebih bergengsi seperti Hubungan Internasional, Manajemen, dan Psikologi. Walhasil, hanya ada segelintir siswa SMA yang berminat untuk mendalami Sosiologi di dunia perkuliahan. Dari segelintir tersebut, penulis termasuk sebagai salah satu anak di antaranya yang meminati Sosiologi namun dilabeli ‘kuper‘ (kurang pergaulan) dan ‘ansos‘ (anti sosial) oleh lingkungan pergaulan sekitar.
Well, labeling tersebut merupakan cobaan yang berat bagi penulis :). Jujur saja, penulis merasa muak dengan cemooh yang terus menerus dilontarkan oleh teman-teman sekitar sekalipun itu hanya candaan saja. Terlebih, penulis merupakan seseorang yang sedikit kesulitan untuk membuka pertemanan secara luas karena memiliki pengalaman menjadi obyek bullying sejak taman kanak-kanak. Ditambah lagi penulis mengambil prodi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) semasa SMA dan tidak mengikuti bimbingan belajar luar jaringan (offline).
“Lah, mau belajar sosiologi kok ngga srawung (bergaul).”
“Sosiologi harus jago public speaking, lho.”
“Emang kamu berani ngobrol sama orang baru?”
Namun, orang lain hanyalah komentator saja. Tak lain dan tak bukan hanyalah pengamat dan penikmat lika-liku perjuangan seseorang semata. Dengan modal mengikuti bimbingan belajar daring (online) dan belajar secara kebut-kebutan selama 6 bulan, saat ini penulis resmi menjadi mahasiswa program sarjana jurusan Sosiologi di salah satu perguruan tinggi negeri. Bukan apa-apa, hal tersebut merupakan sebuah pencapaian hidup yang sangat berharga bagi penulis mengingat dengan segala dinamika yang ada :).
Dari sepenggal cerita di atas, penulis terbesit untuk memantik sebuah pertanyaan singkat kepada pembaca sekalian….
“HOW?”
Bagaimana caranya seorang siswa SMA yang memutuskan untuk lintas jurusan dan belajar secara instan mampu menghadapi tantangan demi meraih impian di dunia perkuliahan?
Bagaimana mungkin penulis tidak merasa teriris-iris kala mendapat komentar yang sangat miris terkait dengan jalan hidupnya untuk menjadi seorang ilmuan sosial yang kritis?
Bagaimana bisa orang-orang akan mengakui keberada
Bagaimanakah penulis mampu mengubah dirinya yang semula kuper menjadi supel; semula ansos menjadi serba loss (lepas); semula berkecil hati menjadi percaya diri?
Dari sekelumit pertanyaan di atas, penulis juga terbesit untuk memberikan sebuah pernyataan singkat kepada pembaca sekalian….
“DO IT!”
Ingin menjadi mahasiswa Sosiologi di perguruan tinggi negeri yang mumpuni Belajarlah untuk lolos seleksi. DO IT!
Ingin meyakinkan lingkungan sekitar bahwa kita bisa dan pantas untuk menjadi apa yang kita inginkan? Belajarlah untuk memantaskan diri sesuai dengan apa yang kita impikan. DO IT!
Ingin melewati segala cemooh, bullying, dan labeling dari semua orang? Belajarlah untuk melalui hal-hal tersebut dengan berserah kepada Yang Maha Segalanya bagi hambanya yang lemah. DO IT!
Karena pada hakikatnya, manusia harus straight to the point untuk meraih impiannya. Ketika ingin menjadi mahasiswa di perguruan tinggi negeri, maka yang harus dipersiapkannya adalah siap selamat dari seleksi, bukannya mempelajari materi perkuliahan jurusan yang ia inginkan hingga lupa untuk mempersiapkan kemampuan menghadapi persaingan dengan ribuan insan. Seperti itulah pemahaman yang diyakini oleh penulis untuk menjadi mahasiswa Sosiologi. Justru dengan menjadi mahasiswa Sosiologi, penulis mampu lebih banyak membaca, lebih terampil menulis, lebih mudah berkomunikasi, dan lebih tanggap dengan lingkunan sekitar.
Hatta, di akhir kata penulis mengucap terima kasih dan salam semangat untuk semua pembaca, dan lebih-lebih teruntuk pembaca yang sedang menghadapi nasib yang sama: dicerca oleh sesama :).
Muhammad Hafizh Rashin
Universitas Gadjah Mada
Sosiologi – 2018