Dalam waktu kurang dari dua bulan, terdapat tiga kasus (yang diketahui oleh penulis) “pembegalan” di sekitar Kampus ITB Ganesha. Ketiganya membawa kawan-kawan kami yang menjadi korban pembegalan, yang barang kepemilikannya dirampas, kemudian harus dibawa ke UGD RS Borromeus untuk ditangani karena terkena serangan senjata tajam. Dua tahun lalu (2014), kawan sejurusan mengalami hal serupa, bahkan di angkutan umum! Angkatan 2006, bahkan Angkatan 1991 juga bercerita bahwa pada masanya kasus pembegalan ini pernah terjadi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ini bukan hal yang baru. Akan tetapi, jangan sampai kita mewajarkan tindak kejahatan seperti ini. Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengutuk tindakan seperti ini. Persoalan ini menunjukkan bahwa ada yang salah, bahwa Bandung kita, tidak sedang baik-baik saja.
Pembegalan: Bukan soal Jam Malam, tapi Keamanan Kota!
Tanpa mengurangi rasa hormat dan rasa terima kasih penulis terhadap para pembuat kebijakan di Jl Tamansari 64, atas itikad baiknya untuk melindungi kami, mahasiswanya, supaya tidak ada lagi jatuh korban pembegalan, perkenankanlah penulis bertanya: Apakah dengan membatasi jam berkegiatan paling malam jam 23.00 maka persoalan selesai? Dengan dimajukan menjadi paling malam jam 21.00 maka persoalan selesai? Jam 19.00, selesai? Jam 18.00? 17.00? Tidak! Begal tetap ada! Apakah apabila korbannya bukan mahasiswa ITB, persoalan ini tidak perlu mendapatkan perhatian? Bila warga Bandung yang lain yang jadi korbannya? Sungguh persoalan pembegalan ini bukan sekedar perkara Jam Malam, ini jauh lebih besar dari itu: Masalah Keamanan Kota!
Identifikasi Komponen Resiko Pembegalan di Kawasan Sekitar ITB
Apabila dijelaskan dalam persamaan matematis, resiko pembegalan berbanding lurus dengan komponen bahaya (hazard) penyebab pembegalan dan komponen kerentanan (vulnerability) yang memungkinkan pembegalan terjadi, serta berbanding terbalik dengan kapasitas (capacity) dalam menghadapi tindakan pembegalan, atau dinyatakan sebagai berikut:
R = (H * V) / C
Identifikasi Komponen Bahaya (Hazard)
Berdasarkan komponen bahaya, faktor yang menentukan resiko pembegalan diantaranya ialah (1) keberadaan begal, (2) jumlah begal, (3) jenis dan jumlah senjata yang dimiliki begal, (4) sistem dan jaringan begal. Resiko begal akan nol apabila begal tidak ada. Resiko pembegalan akan memiliki keberhasilan yang tinggi apabila jumlah begal optimal, berkelompok, dan memiliki persenjataan yang memadai (katana, alat pemukul/senjata tumpul, dan senjata tajam lainnya). Selain itu diyakini bahwa Begal memiliki sistem dan jaringan yang rapi dan terstruktur. Bahkan terdapat pendapat yang menyatakan bahwa Pembegalan adalah salah satu bentuk Kaderisasi dari kelompok kriminal bermotor, dimana apabila sang pembegal cukup bengis dalam hal cara membegal, atau memperoleh barang rampasan yang bernilai tinggi dalam membegal, maka dipercaya bahwa pembegal tersebut akan menduduki posisi yang lebih tinggi dan terhormat pula dalam hierarki kelompok kriminal bermotor tersebut. Meski penulis tidak dapat memastikan apakah informasi ini benar atau tidak.
Identifikasi Komponen Kerentanan (Vulnerability)
Berdasarkan komponen kerentanan, faktor yang menentukan resiko pembegalan diantaranya ialah (1) kerentanan lokasional, (2) kerentanan situasional, (3) kerentanan objek/personal. Resiko begal akan semakin kecil apabila di tempat yang terang, ramai dan diawasi, serta objek begal tidak sedang sendiri/berkelompok. Kawasan sekitar ITB memiliki kerentanan lokasional diantaranya adalah karena memiliki Penerangan Jalan Umum (PJU) yang temaram bahkan di beberapa titik relatif gelap; kedua adalah karena proksimitas atau kedekatan dengan Kampus ITB, dimana keuntungannya ialah terdapat banyak mahasiswa yang dimungkinkan menjadi target operasi begal.
Kerentanan lokasional diperparah dengan adanya kerentanan situasional. Waktu-waktu kejadian pembegalan terjadi pada waktu dilarangnya mahasiswa untuk berkegiatan di dalam kampus, yakni antara pukul 23.00-06.00. Artinya pada jam-jam tersebut, mahasiswa lebih rentan menjadi korban begal. Selain itu lokasi di sekitar ITB, terutama yang menjadi lokasi pembegalan pada umumnya ialah ruang publik (trotoar, koridor jalan yang sepi, jalan layang) dengan suasana yang relatif sepi, apalagi setelah kegiatan perdagangan dan jasa informal di belakang kampus ITB digusur, sehingga koridor Tamansari-Dayangsumbi-Siliwangi, sama sekali tidak ada aktivitas masyarakat 24 jam yang sebenarnya dapat mengurangi tingkat kerentanan situasional dengan peran peer-controling atau pengawasan sesama warga. Hal lainnya adalah tindakan pengawasan. Bagian luar dari pagar kampus ITB bukanlah tanggungjawab Satuan Pengamanan ITB, melainkan Kepolisian Sektor Kecamatan Coblong. Sehingga area pengawasan (control coverage area) menjadi semakin besar, dibandingkan dengan mengawasi area kampus. Oleh karenanya, mahasiswa lebih rentan berada dan berkeliaran di luar pagar kampus, dibandingkan dengan di dalam kampus.
Terakhir, kerentanan objek/personal. Agregat massa dalam jumlah besar pada kawasan potensi terdampak dapat memperbesar posibilitas resiko pembegalan terjadi. Meniadakan atau mengurangi jumlah massa pada kawasan potensi terdampak, diyakini dapat mengurangi possibilitas kejadian pembegalan. Untuk alasan itulah barangkali, pada akhirnya diberlakukan aturan pembatasan berkegiatan semalam-malamnya pada pukul 23.00, yang wacanya karena kasus terakhir, dimajukan menjadi semalam-malamnya menjadi pukul 21.00. Ada yang luput dari perhatian bahwa dengan terror yang disebarluaskan mengenai ancaman begal, dan ketiadaan tempat berlindung dan bernaung (place to shelter) yang aman untuk berkegiatan, justru menjadikan orang cenderung paranoid, dan menyelamatkan diri sendiri, dan dalam keadaan sendiri inilah, orang lebih rentan untuk menjadi korban begal. Padahal dengan berkelompok, kerentanan seseorang semestinya akan berkurang. Selain itu, tidak adanya sistem dan mekanisme kepulangan yang rapi dan terstruktur menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kerentanan objek menjadi lebih besar. Berbeda halnya ketika OSKM, dimana kepulangan itu dilakukan secara berkelompok menurut kesamaan jalur kepulangan, baik dengan cara konvoi maupun menggunakan angkutan umum dengan di sweeping oleh panitia Keamanan OSKM. Kesetiakawanan, kekompakan, kebersamaan, komunalitas, rasa saling peduli sesama, dapat menjadi salah satu yang menurunkan tingkat kerentanan objek/personal. Apabila by number kita seringkali mendapati begal itu minimal 2 orang (karena yang satu mengendarai motor begal, yang lainnya mengendarai motor curian hasil begal), maka semestinya, kita pun beregu dengan jumlah yang lebih besar daripada jumlah mereka.
Identifikasi Komponen Kapasitas (Capacity)
Berdasarkan komponen kapasitas, faktor yang menentukan resiko pembegalan diantaranya ialah (1) kapasitas individu, (2) kapasitas kelembagaan. Kapasitas individu ialah kemampuan diri untuk menghadapi situasi darurat di jalanan. Misal, kemampuan bela diri menjadi salah satu nilah lebih, akan tetapi apabila berhadapan dengan senjata tumpul ataupun senjata tajam, kapasitas individu ini menjadi kurang atau bahkan tidak berarti. Kapasitas kelembagaan ini peran masing-masing lembaga yang terlibat, dalam rangka meningkatkan besaran kapasitas dalam rangka menghadapi resiko pembegalan.
Peran Lembaga ITB untuk meningkatkan kapasitas dalam menghadapi pembegalan diantaranya ialah dapat memberikan safe place to shelter atau tempat yang aman untuk bernaung apabila diperlukan berkegiatan hingga malam hari, dibandingkan dengan mengeluarkan aturan yang membatasi jam berkegiatan sehingga kemungkinan mahasiswa berkeliaran di luar kampus lebih besar, dan karenanya lebih rentan menjadi korban begal.
Peran Lembaga Pemerintah Kota, dalam hal ini Walikota dan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait untuk meningkatkan kapasitas dalam menghadapi pembegalan diantaranya ialah dapat mengurangi blank-spot atau lokasi-lokasi sepi di tempat-tempat yang biasanya rawan begal dengan memberikan aktivasi aktivitas 24 jam seperti alokasi ruang bagi street-vendor sebagai peer-controling disamping bekerja sama dengan Kepolisian setempat dalam melakukan pengawasan formal.
Peran Kepolisian Republik Indonesia Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Bandung dan jajaran Kepolisian sektor di masing-masing kecamatan, sebaiknya dapat mempertanggungjawabkan anggaran besar 72.272 milyar rupiah setiap tahunnya (Dalam APBN-P 2016) dengan program program pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta menyelesaikan rantai kasus pembegalan ini, supaya tidak perlu ada lagi jatuh korban lain. Menjadi sebuah ironi, anggaran untuk POLRI terus meningkat setiap tahunnya, namun untuk kasus seperti Begal ini, sulit dipecahkan rantainya. Daripada disibukkan dengan SABER-PUNGLI atau sapu bersih pungutan liar, program presiden Jokowi untuk memberantas “korupsi receh” dengan agenda besar menghapuskan struktur ad-hoc Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lebih baik kembali ke tengah-tengah masyarakat dalam menjaga ketentraman dan ketertiban untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi perbegalan. Lihatlah perkembangan alokasi APBN untuk Polri di bawah ini (sebagai sebagai perbandingan anggaran Kemenristekdikti 2017 sebesar 38T).
Juga pada TNI Regional Jawa Barat, alih alih melakukan pembubaran kegiatan positif, pegiat literasi seperti perpustakaan jalanan dan disibukkan dengan perilaku communofobia yang salah satunya memberangus buku-buku yang berkaitan dengan Komunisme dan paham-paham serupa, sebenarnya dapat melakukan tugas perbantuan dalam menjaga keamanan di tengah tengah masyarakat dan menumpas tuntas praktik perbegalan di Kota Bandung sehingga tidak perlu ada lagi jatuh korban lain.
Epilog: Tata Ruang yang Tidak Menyelamatkan, Tak Patut Diselamati!
Mungkin, dalam beberapa waktu, Polisi dan TNI dapat menjadi langkah taktis dalam persoalan Begal ini, karena kelompok kriminal bermotor dengan senjata hanya mungkin dilawan dengan tenaga dan persenjataan yang lebih. Pengadaan Penerangan Jalan Umum (PJU) atau Kamera CCTV juga dapat menjadi solusi yang mungkin cukup mahal untuk dilakukan dalam waktu dekat, perlu ada proses pengajuan anggaran dari Satuan Kerja Perangkat Daerah dan penganggaran yang sangat birokratis, high cost dan membutuhkan banyak sumber daya.
“Itu sebabnya kita butuh ruang kota yang hidup! .. Elemen apa yang hidup 24 jam? .. ..Street Vendor! .. .. Makannya jangan asal Gusur!”
Atika Almira Ketua IMA-G 2015/2016
Karena tulisan ini dimulai ditulis pada tanggal 8 November, bertepatan dengan Hari Tata Ruang Nasional, namun sayangnya, sejauh ini Tata Ruang kota kita belum berpihak pada keselamatan warga Kota, jadi kami putuskan untuk tidak merayakan dan menyelamatinya. Karena, Tata Ruang yang tidak menyelamatkan, tak patut diselamati! Salam!