Sibuk adalah pangkal kesuksesan. Semakin sibuk, maka semakin dekat dengan garis sukses. Saking sibuknya, setiap hari adalah waktu yang tepat untuk bekerja. Tidak ada waktu untuk berleha-leha, bahkan di akhir pekan sekalipun.
“Pokoknya harus sibuk dan aku bangga”. Begitu kira-kira pemikiran dasar dari orang-orang yang mengalami hustle culture.
Dewasa ini, hustle culture semakin populer di kalangan anak muda. Terlebih saat narasi pengusaha muda mencuat ke permukaan. Millenial kian terobsesi untuk menjadi kaya raya di usia muda.
Baca juga: 5 Kiat Sukses Mandiri Secara Finansial di Umur 20-an
Mengejar kesuksesan dengan bekerja setiap waktu dianggap sebagai budaya yang wajar. Sampai-sampai, jika berhenti sebentar akan merasa ketinggalan sangat jauh dengan orang lain.
Agar Campuspedia Friends tidak salah kaprah dengan budaya yang satu ini, yuk mari kita kupas tuntas si hustle culture.
Definisi
Hustle culture merupakan sebuah budaya yang melazimkan seseorang untuk bekerja secara terus menerus. Orang dengan hustle culture merasa dirinya harus bekerja setiap waktu, karena dengan begitu ia dapat menyebut dirinya sebagai orang sukses.
Hustle culture dapat juga dikatakan sebagai kesalahan tafsir dari produktif. Orang-orang hustle merasa bahwa dengan mereka bekerja tanpa henti adalah bentuk paling optimal dari produktivitas. Tak heran, hustle culture sering juga disebut dengan ‘gila kerja’.
Dampak
Dampak yang diberikan tidak sepenuhnya buruk. Kabar baiknya, budaya ini dapat mendorong kamu untuk termotivasi untuk menggapai mimpi. Kamu menjadi lebih semangat dalam melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan mimpi masa depan.
Walaupun kabar buruknya, hustle culture secara tidak sadar mendorong seseorang untuk ‘jauh’ dari diri mereka. Karena terlalu sibuk dengan hal-hal eksternal, mereka lupa bahwa dari dalam diri mereka juga butuh waktu untuk diperhatikan.
Faktanya, hustle culture berdampak pada kesehatan. Dikutip dari Forbes, waktu kerja yang berlebihan akan menurunkan kualitas kesehatan mental.
Baca juga: Seberapa Wajar Jam Kerja mu Menurut Aturan Ketenagakerjaan?
Seseorang yang terlalu sibuk bekerja akan mudah terjangkit gangguan kecemasan dan depresi. Imbasnya, muncullah fenomena ‘burnout’, yakni sebuah kondisi stres akut yang menyebabkan kemampuan kerja menurun.
Lebih jauh dari itu, hustle culture juga berpotensi untuk menyebabkan penyakit fatal seperti gagal jantung. Bagaimana tidak, terlalu sibuk bekerja telah memangkas waktu untuk istirahat dan olahraga. Padahal dua hal itu adalah kebutuhan fisiologis yang penting bagi tubuh manusia.
Solusi
Agar tidak terjebak dalam buayan hustle culture, kamu dapat melakukan dua hal ini. Pertama, cobalah untuk menormalisasi istirahat. Berhenti sejenak dari kesibukan mu saat ini bukan lah sebuah dosa. Karena tidak ada yang salah dari istirahat. Dengan beristirahat berarti kamu masih menyayangi dirimu sendiri.
Kedua, cobalah untuk bekerja cerdas. Kerja keras memang tidak salah, namun kerja cerdas selangkah lebih baik. Mulai dengan mengatur waktu untuk bekerja dan membuat capaian target tertentu. Lalu tegas dan fokuslah dengan itu sehingga bekerja dapat lebih efisien.
Baca juga: Zoom Fatigue : Kelelahan Kerja Akibat Terlalu Banyak Video Conference
Hustle culture bagaikan dua sisi mata pisau. Sisi baiknya dapat membantumu untuk termotivasi dalam bekerja. Namun sisi buruknya, budaya ini dapat membunuhmu secara perlahan. Jadi, bijaklah dalam menyikapinya, yah Campuspedia Friends.
Simak informasi lainnya dengan cara ikuti Campuspedia di Instagram, Twitter, Facebook, LinkedIn, YouTube, dan Official Line.