Beberapa hari lalu publik dikejutkan dengan kasus yang menimpa George Floyd (46), seorang warga kulit hitam, oleh seorang polisi pada awal pekan ini di Minneapolis, Amerika Serikat. Informasi tersebut tersebar luas setelah beredar video yang memperlihatkan seorang polisi bernama Derek Chauvin (44) mengunci leher George Floyd dengan lututnya hingga tak berdaya dan hanya dapat memohon pertolongan dengan kata-kata “I can’t breath (saya tidak bisa bernapas)” dan berakhir meregang nyawa.
Kasus tersebut mengundang kegeraman banyak pihak dan memicu isu rasisme di Amerika Serikat antara kelompok kulit putih dan kelompok kulit hitam. Banyak warga Amerika Serikat yang melakukan protes hingga berujung pada kericuhan, mereka menyuarakan kemarahan atas kematian George akibat sikap polisi Minneapolis yang dinilai rasis dan tidak manusiawi.
Kasus ini menjadi perhatian dunia dan slogan Black Lives Matter ramai disuarakan oleh banyak orang, termasuk para politis, publik figur, dan aktivis yang satu suara mengecam tindakan tersebut.
Awal Mula Black Lives Matter
Black Lives Matter merupakan gerakan yang ditujukan untuk memberi pengertian kepada warga dan masyarakat mengenai kasus-kasus ketidakadilan yang dialami oleh komunitas Afrika-America. Misalnya, dianggap berbahaya, dilarang masuk ke tempat tertentu, mengalami diskriminasi ras, mengalami perbedaan pelayanan hukum, dan sebagainya
Dilansir dari BBC, Black Lives Matter dimulai pada tahun 2013, setelah seorang aktivis di California bernama Alicia Garza menulis sebuah postingan di Facebook yang menyatakan “Black people. I love you. I love us,” tulisnya. “Our lives matter.”
Ia geram akan perilaku George Zimmerman, yang bukanlah seorang petugas polisi, melainkan relawan untuk skema pengawasan lingkungan penduduk setempat yang dibebaskan dari tuduhan pembunuhan seorang remaja kulit hitam bernama Trayvon Martin.
Unggahan Garza kemudian diunggah ulang oleh Patrisse Cullors, diikuti dengan tagar #BlackLivesMatter yang dengan cepat menyebar dan pada akhirnya tagar itu selalu digunakan ketika ada kasus rasisme atau ketidakadilan terhadap warga kulit hitam.
Garza, Patrisse, dan seorang wanita kulit hitam lainnya, Opal Tometi, kemudian memprakarsai pembentukan Black Lives Matter (BLM), sebuah pergerakan yang fokus pada rasisme anti Afrika-Amerika di AS.
Kontroversi Black Lives Matter
Gerakan damai Black Lives Matter tidak lantas selalu mendapatkan dukungan, pada tahun 2016 lalu, sebuah tragedi berdarah terjadi, seorang pemuda berkulit hitam, Micah Johnson (25) melakukan penembakan yang menewaskan lima polisi Dallas, mencederai tujuh pertugas lainnya, serta melukai pengunjuk rasa.
Pasca kejadian tersebut, tagar-tagar lain bermunculan, seperti “Blue Lives Matter” yang mendukung polisi, dan “All Lives Matter” yang digunakan orang untuk mengalihkan fokus bahwa orang kulit hitam merupaka satu-satunya “korban.”
Mantan Walikota New York, Rudy Giuliani sempat menyatakan bahwa gerakan Black Lives Matter secara inheren rasis, karena menurutnya semua hal tersebut justru memcah belah dan menyatakan bahwa semua nyawa penting, baik nyawa kulit putih, kulit hitam, dan semua kehidupan.
Barack Obama yang saat itu menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat membela gerakan tersebut dengan menyatakan bahwa gerakan Black Lives Matter pada esensinya adalah pergerakan yang memperjuangkan hak manusia untuk hidup sederajat.
“Ini bukan soal kita membandingkan nilai dari nyawa [manusia],” kata Obama, seperti dikutip dari BBC.
Kasus George Floyd Menambah Kisah Pilu Rasisme di AS
Mengutip BBC, Jumat (29/5/2020), kasus rasisme di AS memang sudah tidak diherankan lagi. Bahkan, rasisme di negara sebesar AS masih menjadi momok utama.
Dalam sebulan terakhir, komunitas kulit hitam telah berduka atas kematian dua orang yang terbunuh oleh mantan petugas dan penegak hukum saat ini. Pada Februari, Ahmaud Arbery dikejar dan dibunuh di Georgia oleh seorang mantan detektif polisi dan putranya; Harus menunggu sampai video yang mendokumentasikan penembakan itu viral bulan ini baru para pria tersebut ditangkap.
Pada Maret, Breonna Taylor, seorang EMT di Kentucky, ditembak mati di apartemennya sendiri oleh petugas polisi untuk penyelidikan yang bahkan Breonna tidak terlibat. Seperti Arbery, kasusnya tidak mendapatkan pengakuan nasional sebelumnya.
Dalam kasus George Floyd, para petugas segera dipecat, yang jarang terjadi dalam penembakan yang melibatkan polisi, lanjut Vox. Dampaknya sebagian cepat karena kebijakan “kewajiban untuk campur tangan” tahun 2016, yang dilaksanakan sekitar sembilan bulan setelah penembakan Jamar Clark, seorang pria kulit hitam yang tidak bersenjata.
kematian George Floyd menunjukkan bagaimana orang kulit hitam menjadi sasaran kekerasan yang berlebihan. Kematian pria dan wanita kulit hitam yang tak terhitung jumlahnya adalah bentuk “genosida”, menurut Benjamin Crump (seorang pengacara hak-hak sipil yang telah menangani kasus-kasus Martin, Brown, Rice, Arbery, dan Taylor, dan sekarang akan mewakili keluarga Floyd juga) dan pembunuhan Floyd mengikuti pola yang sama dari rasisme sistematis.
Biar ga ketinggalan info seputar kampus, yuk follow official Instagram, Facebook, dan LINE Campuspedia
Baca juga: Perbedaan di Antara Kita