Menurut peneliti dan pengajar Psikologi dari Universitas Greenwich, London, Dr. Oliver Robinson, ada empat fase dalam Quarter Life Crisis. Pertama, perasaan terperangkap dalam suatu situasi, entah itu pekerjaan, relasi, atau hal lainnya. Kedua, perubahan pikiran mungkin terjadi. Selanjutnya, periode dibangun kembali hidup yang baru. Terakhir adalah fase mengukuhkan komitmen terkait ketertarikan, aspirasi, dan nilai-nilai yang dipegang seseorang.
Mengalami perubahan fisik, mental dan spiritual menuju usia 20-an atau menginjak 20 tahun tentu saja bukan hal yang mudah diterima. Butuh banyak perjuangan lahir dan batin untuk memperbaiki usia yang rentan terhadap krisis ini. Quarter Life Crisis sering melanda orang-orang yang sedang berada di ambang pintu kedewasaan. Menjejaki fase baru dalam hidup setelah meninggalkan dunia remaja dan anak-anak yang menggembirakan.Generasi milenial yang mendukung teknologi tengah membuat tekanan sosial semakin besar. Munculnya media sosial membuat semua orang berlomba-lomba menunjukkan pencapaian dan eksistensinya.
Kontrol diri yang kurang baik dapat menimbulkan stres dan memicu untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Belum lagi tekanan dari dalam, seperti masa depan yang dipikulkan sebagai beban dan harapan hidup lain yang terus menerus bermunculan. Hal ini membuat Quarter Life Crisis merupakan hal yang penuh kejutan di setiap bagiannya. Apakah kamu sedang berada di fase ini? Kamu merasa bingung, takut, cemas, khawatir, atau malah stres? Itu hal yang wajar dan pasti dialami oleh setiap orang.
Bagi kamu yang sedang mengalami Quarter Life Crisis atau akan mengalaminya pada suatu saat nanti, berikut ini terdapat beberapa dimensi dalam Quarter Life Crisis yang sering membuat seseorang merasakan dilema atau kegundahan hati.
1. Pendidikan
Lepas dari bangku menengah atas, kita dihadapkan pada pilihan antara langsung bekerja atau mulai studi ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak berhenti di situ, memutuskan untuk melanjutkan studi pun akan dihadapkan pada universitas pilihan, jurusan dan pembiayaan kuliah. Memilih universitas di luar negeri atau di dalam negeri, universitas negeri atau swasta, mengambil diploma atau sarjana, memilih jurusan praktis dan peluang kerja tinggi atau jurusan sesuai keinginan. Pembiayaan studi bisa menjadi keputusan yang sulit antara mencari beasiswa, biaya pribadi, atau biaya dari orang tua. Belum lagi kekhawatiran setelah lulus kuliah apakah bisa langsung bekerja atau harus menunggu bekerja lebih lama lagi. Dilematika pertama yang sering membuat seseorang khawatir dan ragu akan masa depan.
2. Karir
Setiap orang pada umumnya selepas dari bangku kuliah, akan dihadapkan dengan pilihan karir yang begitu luas. Mungkin, sebagian dari kita sudah ditentukan untuk berkarir di tempat tertentu. Sementara itu, beberapa orang belum memahami kemana mereka harus berkarir.
Menurut survei bebas yang dilakukan di Inggris, Amerika, Australia, dan India sebanyak 59% dari 6000 koresponden sebanyak 20-an yang menyatakan mereka masih belum yakin akan memilih karier apa yang akan diambil dalam hidup.
Namun, akan menjadi hal yang dilematik apabila mencapai impian yang tidak cocok dengan realita yang akan terwujud. Penentuan karir pun semakin sulit karena kita dihadapkan pada perubahan zaman yang menuntut untuk selalu dinamis. Adanya persepsi berbeda mengenai profesi di zaman dahulu dengan zaman sekarang membuat karir semakin beragam. Meneruskan impian menjadi Pegawai Negeri Sipil bukan lagi satu-satunya pilihan berkarir di zaman sekarang. Menjadi wirausahawan atau bekerja di sebuah perusahaan merupakan pilihan sulit yang lain.
Dilematika karir yang cukup rumit dan krusial. Mengingat jenjang karir adalah jejak pertama di mana seseorang akan mengabdikan dirinya untuk bekerja dan mandiri secara ekonomi.
3. Tujuan Hidup
Di antara jeda setelah wisuda dan menunggu langkah selanjutnya, mungkin terlintas di pikiran kita akan tujuan hidup yang sudah lama tidak dipertimbangkan. Pemikiran tentang hal-hal mendasar seperti “Apa tujuan hidupku?” “Mau menjadi apa aku nanti?” “Apa alasan aku diciptakan?” “Apa yang sebenarnya aku inginkan?” “Bagaimana bisa aku membantu orang lain?” Bagaimana saya memutuskan sesuatu dengan baik? ” dan masih banyak lagi.
Mungkin pertanyaan di atas sering tidak pernah terlintas dalam pikiran kita sebelumnya. Namun, pertanyaan seperti itu mulai bermunculan di kepala. Merenungkan kembali apa esensi hidup dan mencoba menemukan makna di setiap pertambahan usia.
4. Kemandirian Finansial
Tuntutan menjadi dewasa yang dikembangkan selanjutnya adalah kemandirian finansial. Kita mulai risih dengan pemasukan dan pengeluaran yang makin tidak beraturan. Isu keuangan menjadi isu yang cukup sensitif sejak usia 20-an dimana mulai menuntut kita hidup mandiri, baik materi, finansial, dan spiritual. Kemandirian finansial seakan menjadi tolok ukur kesuksesan, kerja keras, harga diri, dan prestis seseorang. Mungkin hal itu menjadi alasan banyak dari generasi kita mengharapkan pekerjaan impian dengan gaji fantastis. Bekerja di perusahaan besar dengan gaji tetap, bonus dan beberapa tunjangan di masa tua. Sungguh karir impian banyak orang bukan? Jika seseorang tidak termasuk dalam orang-orang dengan pekerjaan “wah” dan bergaji fantastis,anggapan mengenai standar kesuksesan ialah ketika sudah bekerja dan dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri.
5. Ekspektasi Sukses
Lulus dengan memuaskan tetapi belum mendapatkan pekerjaan yang mapan, sedangkan ekspektasi sebagian besar orang mendapat pekerjaan di perusahaan bonafit bergaji fantastis. Ekspektasi-ekspektasi tersebut melampaui kemampuan seseorang untuk mewujudkannya sehingga kadang-kadang bisa membuat stres. Perbedaan zaman menjadi masalah yang masih sukar dimengerti. Tidak heran, banyak orang tua yang membandingkan pemikiran mereka dengan kita tentang kesuksesan. Orang tua yang menganggap sukses merupakan kompilasi kita bekerja di tempat yang menguntungkan lalu bisa memiliki materi yang cukup.
Sementara, milenial yang berhasil dengan perubahan zaman yang begitu pesat meluaskan persepsinya tentang sukses. Mereka masih ingin melanjutkan studi S2, keliling luar negeri untuk melakukan penelitian, menggerakkan kegiatan sosial atau pertimbangan untuk menjadi ibu rumah tangga yang tetap bisa bekerja sebagai wanita karir. Mulai usia 20-an ekspektasi sukses menjadi dimensi yang membutuhkan banyak pertimbangan dan pengalaman agar tidak salah mengambil keputusan.
6. Pertemanan
Dalam perjalanan menuju kedewasaan, kita mengalami fase di mana pertemanan kita semakin sulit. Lingkaran pertemanan semakin mengecil. Teman-teman sekolah, kuliah, atau teman sebaya yang sebelumnya sering nongkrong akan terseleksi dengan sendirinya. Kita tidak lagi mementingkan jumlah teman, tetapi kita fokus terhadap nilai. Pertemanan yang benar-benar mementingkan kualitas daripada hanya sekadar kuantitas. Bisa jadi kita berteman dengan banyak orang, tetapi tidak sedalam dengan teman-teman dekat. Teman-teman dekat yang benar-benar paham dan mengerti kita, bukan mereka yang mengerti kulit luarnya saja.
Usia 20-an merupakan usia dimana kita mengenal diri sendiri jauh lebih baik dari sebelumnya. Kita tahu apa yang kita sukai dan tidak disukai. Kita tahu mana yang benar-benar tulus dan tidak. Kita semakin tahu siapa yang berhak kita percaya. Mungkin beberapa orang mempertimbangkan bahwa kita memiliki lebih banyak teman hidup akan lebih bahagia. Akan tetapi, banyak teman tidak menjamin mereka memiliki preferensi yang sama atau nilai yang kita harapkan. Bukan bermaksud untuk pilih-pilih, tetapi memiliki teman yang bisa mendukung kita saat susah maupun senang merupakan hal yang luar biasa. Hal terpenting dalam pertemanan adalah bukan seberapa banyak teman kita, akan tetapi seberapa besar makna hidup yang bisa diisi bersama-sama.
7. Jodoh
Krisis yang kamu hadapi selanjutnya mungkin soal jodoh. Hal ini menjadi wajar di usia 20-an, kamu mulai diberondong dengan pertanyaan,
“Mana calonmu?”
“Kapan menikah?”
Tidak sedikit orang tua di usia 20-an yang bingung untuk menjawab pertanyaan semacam itu. Merasa bingung karena memang sudah lajang, belum ketemu jodoh, sudah ketemu jodoh tetapi tidak direstui keluarga, atau sudah punya pasangan akan tetapi masih harus diperbaiki untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Jodoh menjadi masalah yang kompleks karena apa yang kita impikan tentang jodoh, pernikahan, dan kehidupan dewasa di usia remaja tidak semudah dongeng dalam buku cerita pengantar tidur.
Mari kita berpikir realistis. Siapa di dunia ini yang tidak ingin memiliki pasangan dan membangun keluarga yang bahagia? Tentu saja semua orang berharap demikian. Ada yang masih 18 tahun tetapi sudah memutuskan untuk menikah. Ada yang menikah di usia 23 tahun dan sudah memiliki 2 orang anak. Ada pula yang memilih menunda pernikahan demi mengejar karir lebih dulu. Beberapa target menikah pun kadang masih sering tidak terlaksana. Jodoh merupakan rahasia Tuhan. Sembari memperbaiki diri sendiri, mengejar mimpi dan meraih harapan lain kamu harus percaya bahwa jodoh akan datang di waktu yang tepat.
Quarter Life Crisis akan dialami setiap orang menuju ambang pintu kedewasaan. Rasa takut, cemas, bimbang dan bingung wajar dirasakan. Kamu akan mulai mengenali dirimu secara lebih luas. Apa yang kamu suka, apa yang tidak kamu suka, apa yang kamu inginkan, target apa yang akan kamu raih di depan dan masih banyak lagi. Fokuslah pada kekuatan dirimu dan berhenti membandingkan dirimu dengan orang lain. Mulailah merealisasikaan target hidupmu. Buat semua orang bangga dengan keberhasilanmu, termasuk dirimu sendiri.
Fase Quarter Life Crisis tidak bisa dihindari tetapi kamu bisa menghadapinya. Ceritakan keluh kesahmu dengan keluarga dan orang terdekat. Dukungan dan doa dari mereka yang kamu cintai bisa menjadi kekuatanmu untuk terus maju. Fase yang baik untukmu memutuskan sesuatu secara rasional dan mengesampingkan hal yang tidak penting. Ingat, setiap orang memiliki waktunya masing-masing. Kamu hanya perlu fokus pada dirimu sendiri dan tetap melangkah ke depan. Ketika tiba saatmu, kamu pasti akan mendapatkan apa yang kamu inginkan.
Tetap semangat!
Comments 1