Kasus penganiayaan saat MOS rasanya hampir terjadi setiap tahun ajaran baru dimulai. Permasalahan yang baru-baru ini ramai diberitakan datangnya dari salah satu SMA yang berada di Palembang.
MOS atau yang biasa dikenal dengan Masa Orientasi Siswa menjadi kegiatan wajib yang harus diikuti oleh siswa baru tingkatan SMP dan SMA. Kalau untuk mahasiswa dinamai dengan OSPEK (Orientasi Studi Pengenalan Kampus). Selama ini, pelaksanaan MOS dikoordinir oleh anggota OSIS atau panitia yang dibentuk untuk mengenalkan siswa baru pada lingkungan sekolah yang tak lain dan tak bukan merupakan senior atau kakak kelas.
Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 Tahun 2016, MOS yang namanya telah digantikan oleh Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, pelaksanaan MPLS tidak lagi dilaksanakan oleh siswa atau kakak kelas, melainkan dilakukan oleh para guru. Jadi, guru yang berkewajiban melakukan pengawasan, pelaksaaan, dan pengkoordinasian.
MOS sendiri memang sudah menjadi momok yang menakutkan di kalangan siswa baru. Pasalnya, senioritas masih sering terjadi di beberapa sekolah pada masa MOS. Tak jarang melakukan kekerasan dengan alasan menertibkan siswa baru. Namun, apakah memang sebenarnya kekerasan dibutuhkan untuk menertibkan?
Masa Orientasi Siswa (MOS) seharusnya diisi dengan kegiatan yang lebih mengedukasi, seperti tujuan awalnya, yaitu untuk mengenalkan kepada siswa baru, mengenai kehidupan di sekolah tersebut. Maka, lakukanlah pengenalan visi misi sekolah, pemberitahuan mengenai tata tertib, pemaparan ekstrakurikuler, fasilitas, dan prestasi siswa, sehingga dapat menumbuhkan keinginan murid-murid baru untuk mengikuti jejak yang baik, dengan mengukir prestasi.
Masa Orientasi Siswa (MOS) memang merupakan kegiatan turun-temurun yang terus dilakukan untuk menyambut siswa baru. Namun, bukan berarti senioritas dan tindak kekerasan untuk menertibkan siswa baru juga harus terus dipelihara dan dijadikan tongkat estafet setiap tahunnya.