Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir membeberkan rencananya mengundang rektor dari luar negeri untuk memimpin di Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia. Rencananya ini bermula dari keinginan pemerintah untuk meningkatkan ranking perguruan tinggi di Indonesia agar masuk 100 besar dunia. Pemerintah saat ini sedang mengkaji perguruan tinggi negeri yang siap untuk dipimpin rektor dari luar negeri dan menargetkan program mulai berjalan pada tahun 2020. Rektor dari luar negeri ini nantinya juga ditarget agar bisa menaikkan ranking perguruan tinggi Indonesia di kancah dunia.
“Kita nanti tantang calon rektor luar negerinya, kamu bisa tidak tingkatkan ranking perguruan tinggi ini menjadi 200 besar dunia. Setelah itu tercapai, berikutnya 150 besar dunia. Setelah itu 100 besar dunia. Harus seperti itu. Kita tidak bisa targetnya item per item. Nanti, dia harus meningkatkan publikasinya, mendatangkan dosen asing, mendatangkan mahasiswa asing, bahkan mahasiswa Indonesia bisa dikirim ke luar negeri,” jelas Mohamad Nasir.
Guna mencapai tujuannya ini, pemerintah sedang melakukan pengkajian terhadap beberapa aspek. Aspek peraturan sedang diperbaiki agar calon rektor luar negeri mendapat ranah untuk memimpin, mengajar, meneliti dan berkolaborasi di Indonesia. Pemerintah juga sedang mengkaji kriteria calon rektor luar negeri yang mampu memimpin perguruan tinggi di Indonesia.
“Saya sudah laporkan kepada Bapak Presiden dalam hal ini wacana untuk merekrut rektor asing ini, (harus) yang punya reputasi. Kalau yang tidak punya reputasi, jangan” ujar Menristekdikti.
Aspek anggaran dikatakan akan disediakan langsung oleh pemerintah tanpa mengurangi anggaran perguruan tinggi terkait, namun hal ini tetap perlu dikaji dan perlu dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan.
“Saya harus bicara dengan Menteri Keuangan juga, bagaimana kalau rektor dari luar negeri kita datangkan ke Indonesia. Berapa gaji yang harus dia terima? Berapa komparasi negara-negara lain? Bagaimana bisa dilakukan, tetapi tidak mengganggu stabilitas keuangan di perguruan tinggi,” ungkap Mohamad Nasir.
Sejak dipublikasikannya wacana ini, reaksi berdatangan dari berbagai kalangan. Ketua Umum Himpunan Penyelenggara Pendidikan dan Kursus Indonesia (HIPKI) menjadi salah satu pihak yang setuju dengan wacana tersebut. Selaku Ketua HIPKI, Drs. H. Asep Syaripudin, M.Si menilik kebutuhan wacana ini dari segi sumber daya manusia (SDM). Ia mengakui bahwa SDM Indonesia jauh tertinggal.
“Singapura menempati peringkat pertama dengan skor 77,27 yang sudah lebih dulu mengimpor Rektor dari luar negeri sedang Indonesia berada di posisi ke enam dengan skor sebesar 38,61. Artinya penting mengimpor tenaga ahli dari luar negeri supaya Indonesia segera bisa bersaing,” ungkapnya.
Asep juga mengangkat peringkat Indonesia pada Global Talent Competitiveness Index (GTCI), yaitu pemeringkatan daya saing negara berdasarkan kemampuan atau talenta sumber daya manusia yang dimiliki negara tersebut. Indonesia sendiri berada di peringkat 67 dari 125 negara di dunia.
Respon positif juga disampaikan oleh Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof.Dr.Ir Kadarsyah Suryadi DEA. Menurut Kadarsyah kedatangan Rektor dari luar negeri menjadi upaya meningkatkan atmosfer internasional, sehingga mahasiswa dapat dipersiapkan sebagai calon masyarakat global. Wacana ini juga berdampak pada mobilitas dosen maupun mahasiswa untuk melebarkan sayapnya ke ranah internasional.
“Jadi itu dalam rangka staff mobility, sehingga mereka tidak akan mengambil jatah lapangan kerja kita, tapi melengkapi,” jelas Kadarsyah.
Ia juga menambahkan dari aspek keuangan bahwa mereka yang datang ke Indonesia biasanya dibiayai oleh kampus mereka sendiri. Berbanding terbalik dengan Ketua HIPKI dan Rektor ITB, Dosen Fisip Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang, Yudi Muhtadi. Menurutnya wacana tersebut belum tepat jika diberlakukan saat ini jika dilihat dari aspek kultur.
“Karena mereka orang asing dan bukan dari Indonesia. Bisa saja budayanya berbeda dan dia tidak tahu. Karenanya menurut saya lebih baik pertukaran mahasiswa, dosen, double degree, dan program lainnya. Kalau untuk transformasi pengembangan Iptek silakan saja. Termasuk bisa juga partisipasi kolaborasi, dan impor kurikulum.” Beber Yudi.
Berbeda dengan Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Yudian Wahyudi yang melihat alasan tidak masuknya perguruan tinggi di Indonesia ke 100 besar dunia. Yudian mengatakan salah satu alasan perguruan tinggi di Indonesia kalah bersaing adalah minimnya anggaran penelitian.
“Mestinya universitas besar yang masuk experimental science, ini yang pengaruhnya langsung terukur, bisa bikin mobil, jembatan, perahu ya. Itu dikasih anggaran yang lima kali lipat (dari universitas di) Singapura.” tandasnya.
Guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana ikut angkat bicara. Menurutnya langkah ini tidak menjamin keberhasilan perguruan tinggi di Indonesia agar tembus 100 besar dunia. Fasilitas menjadi poin kritik Hikmahanto terhadap wacana ini, karena baginya rektor hanya salah satu komponen dari seluruh proses pengajaran yang ada di universitas.
“Yang dibutuhkan itu bukan hanya rektor, tapi pelajarnya juga harus hebat, laboratorium yang bagus, perpustakaan yang baik. Itu yang harusnya menjadi concern, bukan sekadar mendatangkan rektor.” ujarnya.