Masih Ingat dengan Ayu Kartika Dewi?
Nama Ayu Kartika Dewi langsung mencuri perhatian publik setelah Presiden Joko Widodo secara resmi mengumumkan nama-nama staf khusus presiden beberapa waktu lalu. Ayu Kartika Dewi menjadi salah satu milenial dari 7 staf khusus yang diangkat oleh Jokowi. Perempuan berusia 36 tahun ini bersama staf khusus presiden yang lain akan membantu Presiden Jokowi menjalankan roda pemerintahan 5 tahun ke depan.
Siapa Ayu Kartika Dewi?
sumber gambar : liputan6.com
Ayu Kartika Dewi lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 27 April 1983. Ayu juga merupakan seorang penerima Keller Scholarship dan Fulbright Scholarship, dan ia telah mendapatkan gelar MBA dari Universitas Duke, Amerika Serikat.
Ia pernah menjadi Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama pada tahun 2015—2017. Pada tahun 2019, ia diangkat menjadi Staf Khusus Presiden Joko Widodo.
Ayu Kartika Dewi merupakan alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga. Lulus dari UNAIR, Ayu meneruskan program pascasarjana di Duke University, Amerika Serikat. Perempuan berhijab ini memiliki semangat dan komitmen tinggi dalam menggairahkan nilai toleransi dan keberagaman di penjuru Nusantara. Komitmen tersebut mulai terbangun pada saat beliau mengawali pengabdiannya bersama lembaga Indonesia Mengajar. Lembaga nirlaba ini nemiliki dedikasi untuk mencetak dan mengirimkan para kawula muda sebagai pengajar SD di daerah-daerah terpelosok.
Awal Bersentuhan dengan Masalah Sosial
Pada 2010, Ayu mendapatkan tugas untuk mengajar di salah satu SD yang berada di Desa Papaloang, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Kehadiran Ayu di Desa Papaloang inilah yang kemudian membawanya bersentuhan dengan permasalahan sosial yang masih menjadi bayang-bayang gelap masyarakat sekitar. Salah satu anak didiknya masih mengalami traumatik dengan kerusuhan antar-dua kelompok agama yang terjadi di Ambon pada 1999. Padahal, saat Ayu melawat ke Maluku, keadaan sudah aman dan dua kelompok yang bertikai sudah berikrar damai. Namun, ketakutan akan akan bayang-bayang masa kelam itu justru masih membuntuti anak didiknya hingga sekarang.
Suatu ketika seorang murid datang dan bilang, “Bu Ayu kita harus hati-hati, kerusuhan su dekat”.
Terus Saya tanya, “Memang kerusuhannya di mana?”.
“Di Ambon Ibu, kita harus hati-hati.” ujar Ayu kepada Magdelene.co yang dilansir aminef.or.id.
“Padahal dengan kapal laut saja butuh waktu dua hari dari Maluku Utara untuk sampai ke Ambon,” kata perempuan berhijab tersebut.
Mencetuskan Program SabangMerauke
sumber gambar : liputan6.com
Ketakutan muridnya ini justru menjadi pelecut dirinya untuk menggelorakan semangat toleransi dan keberagaman.
Ia pun mencetuskan Program Seribu Anak Bangsa Merantau untuk Kembali atau disebut SabangMerauke. Program ini merupakan upaya Ayu menggelorakan nilai keberagaman, toleransi, hingga cakrawala ilmu pengetahuan antar-pelajar di Indonesia. Para pesertanya merupakan pelajar tingkat SMP. Mereka ditugaskan untuk menyatu bersama keluarga dan berinteraksi dengan teman yang berbeda tanpa membedakan.
Setelah tugas tersebut selesai dan kembali ke masing-masing daerahnya, Ayu mendelegasikan mereka sebagai duta perdamaian di daerah asalnya. Bertahun-tahun ia mengoordinir program tersebut. Sudah ribuan pelajar ia kirimkan ke berbagai daerah guna merajut nilai keberagaman dan toleransi. Di sisi lain, apa yang dilakukannya justru membuat Ayu seolah tak percaya. Bahwa komitmennya menyebarkan nilai keberagaman dan toleransi terhadap kelompok agama yang berbeda bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Ayu mengatakan, dedikasi anak didiknya selalu berasal dari prasangka terhadap agama maupun suku yang berbeda. Ketakutan ini sekali lagi menegaskan bahwa fakta intoleransi di Indonesia masih ada.
Mendirikan Milenial Islami
sumber gambar :liputan6.com
Usaha Ayu menyebarkan nilai keberagaman dan toleransi tidak berhenti sampai di situ. Merebaknya isu konservatisme dan semakin menggeliatnya intoleransi yang terjadi pada anak muda menggerakan Ayu melanjutkan kontribusinya pada bangsa. Ia lantas mendirikan Milenial Islami yang memanfaatkan media sosial untuk menggemakan Islam yang moderat. Para anggota Milenial Islami juga langsung turun ke lapangan dengan mendatangi universitas hingga kampus di seluruh penjuru tanah air. Dedikasinya terhadap kesejahteraan pendidikan anak bangsa tercermin dari semua usahanya.
Menurutnya, adanya permasalahan sosial merupakan implikasi terjadinya ketimpangan pendidikan di Indonesia. Dari SabangMerauke dan Milenial Islami, dapat memperlihatkan betapa gigihnya Ayu mencetak pemuda yang berpikir kritis dan saling menghargai antar sesama manusia.
“Untuk merangkul generasi muda tidak cukup dengan membuat acara-acara yang hanya menjual embel-embel Milenial, tetapi juga harus mendengarkan aspirasi mereka secara serius,” kata Ayu.
Semangatnya berkontribusi pada dunia pendidikan dan memperkuat toleransi keberagaman dapat menjadi cambuk bagi kita generasi muda untuk meneruskan perjuangannya. Kerjasama seluruh elemen masyarakat dan pemerintah menjadi jalan terbuka yang cerah untuk upaya pemerataan pendidikan, kesejahteraan sosial dan perdamaian antar suku bangsa di seluruh tanah air.