Surabaya, 08/2019 – Pertumbuhan jumlah Program Studi Farmasi yang signifikan menimbulkan reaksi berbagai pihak dan penerbitan keputusan Moratorium oleh Kemenristekdikti. Apa yang melatarbelakangi dan bagaimana menyikapinya?
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tingi, Mohamad Nasir, menerima moratorium pembukaan Program Studi Farmasi Program Sarjana pada 31 Juli 2019. Dalam surat bernomor 01/M/SE/VII/2019, Menristekdikti menyebutkan bahwa pemberhentian sementara pembukaan Program Studi Farmasi Program Sarjana mulai diberlakukan. Pernyataan ini menjadi jawaban atas isu yang muncul sejak tiga tahun lalu, yaitu pada tahun 2016. Gerakan dukungan moratorium ini kembali bangkit pada Februari 2019 dan ditindaklanjuti setelah adanya petisi yang telah ditandatangani oleh 9.781 orang.
Peningkatan kualitas menjadi latar belakang adanya moratorium. Dari data yang dihimpun dari lamptkes dan BAN PT, pada Desember 2018 tercatat 95 dari 200 Program Studi Farmasi belum terakreditasi dan 3 dari 40 Program Studi Apoteker belum terakreditasi. Hal ini menunjukkan bawah peningkatan jumlah Program Studi Farmasi masih timpang atau tidak seimbang dengan peningkatan kualitasnya. Selain itu, ketidakseimbangan jumlah lulusan dengan PSPA (profesi) juga menjadi pertimbangan penting keputusan ini.
Meski rekomendasi ideal WHO 1:2.000 kini belum terpenuhi, namun rasio tersebut kedepannya akan jauh terlampaui dan berpotensi meningkatkan angka pengangguran jika sikap tegas ini tidak terwujud. Adanya memoratorium ini diharapkan dapat menjadi cambuk kuat setiap universitas untuk meningkatkan kualitas dan daya saing. Selain tindakan pembenahan oleh perguruan tinggi, diperlukan dukungan Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) diharapkan dapat mengawasi mutu pendidikan lebih ketat.
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah surat edaran Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tingi Republik Indonesia Nomor 01/M/SE/VII/2019 tentang Moratorium Pembukaan Program Studi Farmasi Program Sarjana:
Comments 1