Anak rantau, tentunya menjadi orang baru bahkan asing di kota tempat kamu melanjutkan pendidikan. Pada hari pertama di kampus kamu pasti akan melihat beberapa orang sudah lebih akrab satu sama lain karena berbagai alasan. Bisa jadi mereka dari kota yang sama, sekolah yang sama, bimbel yang sama, dan lain-lain. Dari situ timbul rasa enggan untuk memulai percakapan, mencoba masuk dalam circle mereka, merasa kecil, tidak terlalu penting, dan simply karena mereka terlihat sudah saling mengenal membuatmu malas untuk ikut bergabung. Percaya atau tidak, terlepas kamu introvert maupun extrovert banyak yang merasakan hal ini.
Para peneliti telah lama mengetahui bahwa memiliki teman memainkan peranan penting dalam membentuk rasa kesejahteraan (well-being) dan kepemilikan (belonging) seseorang. Bahkan kesehatan fisik secara dramatis dapat dipengaruhi oleh kondisi sosial. Tetapi, baru sedikit yang paham tentang bagaimana persepsi orang terhadap kehidupan sosial mereka dan kehidupan sosial orang-orang di sekitar mereka dapat mempengaruhi emosi. Jelasnya adalah persepsi ini mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memulai dan menjalin pertemanan.
Dari The Harvard Gazzette (2017), penelitian di Harvard (Harvard Business School dan Harvard Medical School) menemukan bahwa mayoritas mahasiswa baru percaya bahwa mahasiswa baru lainnya memiliki lebih banyak teman dan lebih bersenang-senang.
Studi terhadap 1.099 mahasiswa baru di sebuah universitas negeri di Vancouver, Kanada, 48 persen responden mengasumsikan bahwa mahasiswa baru lainnya memiliki lebih banyak teman dekat daripada mereka. Hanya 31 persen yang berpikir mereka memiliki lebih banyak teman dekat daripada mahasiswa baru lainnya, sementara itu hanya 21 persen yang percaya bahwa mereka memiliki jumlah teman yang sama (dengan mahasiswa baru lainnya).
Ketika ditanya lingkaran sosial mana yang lebih besar, 45 persen berpikir orang lain memiliki lebih banyak kenalan daripada yang mereka punya. Anggapan bahwa orang lain memiliki kehidupan sosial yang lebih menarik, konsisten didapat dari seluruh gender dan etnis, baik dari yang berasal dari sekolah lokal atau yang merantau.
Hasil peneltian dari kelompok lain berisi mahasiswa tahun kedua di perguruan tinggi, para peneliti menemukan bahwa mereka yang awalnya percaya bahwa mahasiswa lain memiliki lebih banyak teman daripada yang mereka punya, pada kemudian hari punya lebih banyak teman dekat dan kenalan sosial, hal ini menunjukkan bahwa persepsi seseorang yang merasa dirinya tidak punya lebih banyak teman daripada mahasiswa lain seangkatannya memotivasi dirinya untuk lebih bersosialisasi.
Intinya adalah jika kamu melihat orang lain sepertinya lebih bahagia, lebih bersenang-senang itu hanyalah sebagian kecil dari kehidupan mereka. Kamu tidak melihat apa yang mereka lakukan saat mereka sendiri. Perlu diingat bahwa apa yang dibagikan di sosial media adalah fabricated, artinya orang-orang memilih dan selalu memilih foto apa, momen apa, yang ingin dibagikan termasuk vlog. Jika seseorang terlihat selalu bahagia di media sosial, saat hangout, well sangat mungkin dia tidak memperlihatkan kesedihannya karena memang itu bukan hal yang ingin dia bagikan. Get it?
Kembali ke awal, pandangan bahwa orang lain memiliki circle sosial yang lebih baik adalah tidak selalu benar. Perasaan enggan untuk memulai percakapan saat kamu berada di lingkungan baru adalah normal. Kemungkinannya adalah orang lain juga merasakan hal yang sama, dan itu sebenarnya bisa memotivasi. Mungkin itu yang mereka lakukan sehingga terlihat di matamu mereka lebih baik dalam bersosialiasi. Go out, make some friend! Jangan berkecil hati untuk berteman dengan mahasiswa seangkatanmu yang kelihatannya lebih populer dari yang lain. Sejatinya kuliah bukan ajang adu popularitas. Perluas social circle-mu!
Baca juga Saran untuk Maba. Biar kamu ga cupu saat memasuki dunia perkuliahanmu.